Ada tiga orang Raden Purbaya di Indonesia. Yang paling terkenal akan saya ungkap di urutan terakhir. Pertama, adalah Raden Purbaya dari Banten yang berkiprah dalam melawan para kumpeni alias VOC di tahun 1600-an. Raden Purbaya ini sangat pro rakyat dan bersemangat meneruskan perjuangan kerajaan dalam melawan VOC. Dia wafat setelah menjadi putra mahkota, menggantikan saudaranya Sultan Haji yang ternyata berpihak pada VOC. Kematiannya diduga akibat intrik politik.
Kedua, Raden Purbaya dari Lamongan, Jawa Timur. Bangsawan ini kiprahnya di tahun 1700-an dan juga sama karakternya: sengit berkontra dengan VOC. Akhir hayatnya, dia terjebak dalam pertempuran berat sebelah dengan VOC dan akhirnya tertangkap. Di masa tawanannya itulah Raden Purbaya ini wafat. Banyak yang percaya bahwa terjebaknya dia dalam pertarungan tak seimbang itu akibat pengkhianatan internal kerajaan terhadapnya.
Dan yang terakhir, paling terkenal adalah Raden Purbaya dengan kesaktian tingkat tinggi dari Kesultanan Mataram. Sudah sangat banyak kisah kesaktian tentang Raden Purbaya ini dalam melawan angkara murka. Dia dua kali mendekati kematian akibat intrik politik. Yang pertama, saat ditugaskan melawan tokoh politik senior di kerajaannya. Tokoh senior ini dianggap merugikan kerajaan dan rakyatnya akibat kebijakan yang menyengsarakan.
Beruntung Raden Purbaya diselamatkan oleh ibu surinya sehingga dia lolos dari maut. Namun yang kedua, Raden Purbaya akhirnya gugur di pertempuran karena dijebloskan ke dalam pertempuran berat sebelah. Saat pertempuran itu usianya sudah cukup lanjut, dan musuh pun berhasil memanfaatkan titik lemahnya. Akhirnya Raden Purbaya gugur digempur pasukan dari Makassar yang bersekutu dengan tantara Pulau Madura. Kematian Raden Purbaya sakti ini juga disinyalir akibat jebakan.
Maka ketiga Raden Purbaya tersebut --dari kisah yang ada di masyarakat adalah seorang negarawan yang memiliki integritas tinggi terhadap kerajaan dan rakyatnya. Tapi sayang, ketiganya gugur dengan meninggalkan dugaan yang misterius dari sisi politik.
Lalu, di era post-modern ini, meski sudah tidak populer lagi gelar bangsawan "Raden", namun negarawan tetaplah negarawan. Muncul nama Purbaya yang tak bergelar Raden di kancah perpolitikan Indonesia. Gelarnya saat ini adalah Doktor Ekonomi yang sedang berupaya memperbaiki ekonomi. Namun, kekuatiran akan nasibnya seperti tiga Raden Purbaya sebelumnya, tetap menjadi hal yang terlintas di kepala saya.
Terlebih ketika ada tokoh-tokoh yang meninggal mendadak atau membuat publik berpikiran bahwa mereka disingkirkan secara politik, jadi menimbulkan konspirasi. Sebetulnya pikiran publik itu bukan semata-mata paranoia; melainkan ekspresi ketidakpercayaan struktural.
Meninggalnya Wakil Menteri ESDM, Widjajono Partowidagdo, di tahun 2012 misalnya. Secara resmi merupakan kecelakaan di Gunung Tambora. Tetapi karena ia telah memperjuangkan transparansi dalam pengelolaan minyak dan gas—sektor yang dipenuhi kepentingan yang mengakar, imajinasi publik pun melonjak: "Dia pasti telah membuat marah seseorang yang berkuasa."
Lalu ada lagi kecurigaan terhadap kematian Faisal Basri, yang menurut publik kematian itu seperti menyiratkan adanya teknokrat yang langka dan merepotkan orang-orang kuat dan berkuasa. Sebab dari cara beropininya, dia seperti tipe yang berbicara terlalu jelas dan keras di tengah sistem yang kecanduan ambiguitas. Logika yang sama juga menghantui setiap reformis yang bersinggungan dengan kerangka oligarki republik ini.
Akankah Purbaya yang ini juga mengikuti pola itu? Di mana kini Pak Purbaya berada di persimpangan antara informasi, uang, dan kepentingan nasional. Dan yang terpenting, di mana modal Cina bertemu dengan akuntabilitas Indonesia. Jika Purbaya mulai mengungkapkan terlalu banyak tentang paparan utang yang sebenarnya, atau ikatan politik yang menyertainya, maka ketidaknyamanan yang ditimbulkannya akan sangat besar.
Sekalipun tidak ada hal buruk yang terjadi, tapi banyak hal tentang rapuhnya lembaga-lembaga Indonesia yang sedang terungkap akibat langkah kerja Purbaya Sadewa. Mungkin ancaman maut terhadap Menteri Keuangan ini bisa dibuang dulu jauh-jauh, mengingat agenda politik Indonesia sedang tersorot secara transparan oleh banyak pihak, di dalam maupun luar negeri.
Namun ada ancaman lain yang mungkin akan dihadapi Purbaya secara struktural. Mungkin boleh jadi sebuah isolasi politik, ketimbang ancaman fisik.
Sudah bukan rahasia lagi, sistem Indonesia cenderung menyingkirkan para reformis dengan menendang mereka, bukan melenyapkan mereka sepenuhnya. Pencemaran nama baik, marginalisasi, atau pemecatan mendadak "karena alasan administratif", tentunya sudah tampak secara gamblang bagi mereka yang didaulat memangku kepentingan public kemudian bekerja secara idealis.

