Saya menyukai laut, bukan karena kebetulan mendiang ayah seorang tentara Angkatan Laut (TNI AL) yang selalu bertugas dekat dengan laut. Itu mah namanya nebeng nasib bokap.. Tapi lantaran waktu kecil dulu, kami selama tujuh tahun tinggal di rumah dinas TNI AL, yang sebenarnya dekat dengan hutan dan bukit dataran rendah. Namun secara alamiah, untuk urusan outdoor, saya lebih menyenangi lingkungan yang dekat dengan laut dan pesisir, ketimbang yang dekat dengan hutan dan perbukitan atau pegunungan. 

Bahkan ketika almarhum ayah sudah pindah dari Tanjung Uban, setelah tujuh tahun tinggal di sana, dan pindah tugas ke Pangkalan TNI AL Aria Jipang, Bandung, saya jarang mau diajak liburan ke kawasan pegunungan seperti menginap di Puncak, Cianjur, atau main ke Lembang. Saya lebih memilih minta diajak liburan ke Pantai Ancol, Jakarta. Sehingga pada akhirnya, saya pun mengambil kuliah yang berhubungan dengan laut dan ikan. Karena saya menolak keinginan ibu saya untuk jadi tentara dan menyetujui saran almarhum untuk kuliah di bidang biologi saja.

Akhirnya saya pilihlah IPB atau dulu dikenal Institut Pertanian Bogor (sekarang IPB University), melalui jalur UMPTN pada tahun 1997. Jurusan yang saya ambil adalah Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan (PSP), yang awalnya saya kira jurusan yang memanfaatkan apa yang ada di dalam tubuh ikan. Tapi ternyata, jurusan PSP IPB adalah menyangkut urusan cara menangkap ikan di laut. Ya, ngga apa. Berarti malah tambah senang saya, karena suka dengan laut. Tapi, euforia ini hanya sementara saja, karena masalah yang lebih besar telah menanti.


Liputan ke tengah laut kawasan Kepulauan Seribu bersama Marinir dan TNI AL tahun 2021


Oh ya, memang ada juga jurusan Ilmu dan Teknologi Kelautan yang saya lihat di buku tuntunan UMPTN namun saya tidak dapat membayangkan, belajar apa nanti di situ? Jadi saya lebih memilih untuk spesifik lagi, yaitu mencari jurusan yang berkaitan dengan perikanan dan terpilihlah PSP tersebut. Awalnya saya pikir akan banyak belajar hal menyenangkan tentang ikan, mancing, dan biologi laut. Tapi rupanya, yang lebih banyak dipelajari di PSP adalah dari sisi fisika. 


Mampus gue!

Tentang ikan dan biologi, ternyata hanya sekitar 30 persen saja dari total 144 SKS yang harus ditempuh. "Mampus gue!" itulah yang saya ucapkan berkali-kali setelah melihat silabus mata kuliah ke depan, saat di smester pertama. Masalahnya, saya tipikal orang yang sulit menerima pelajaran untuk hal yang kurang saya sukai. Perlu diketahui, setelah saya hitung-hitung, saya bisa lolos masuk IPB lantaran komposisi poin nilai UMPTN saya banyak terdongkrak dari mata pelajaran Biologi, Bahasa Inggris, dan Matematika Dasar. Lainnya, Fisika dan Kimia, rusak semua.

Sedangkan kuliah di jurusan PSP harus kuat di Fisika dan Matematika terapan (bukan lagi Matematika dasar). Ditambah lagi, cara belajar di IPB yang beda dengan perguruan tinggi lainnya. Misalnya nih, saya punya kawan jurusan Teknik Informatika di ITB, Bandung. 

Saat saya tanya, "Kalian ada kuliah pemrograman bukan? Gimana cara belajar kalian? Kalau mata kuliah pemrograman di saya, apa yang diajar dosen, ya nanti isi ujiannya seperti yang diajarkannya." Lalu mereka menjawab bahwa para dosen hanya mengajar dasarnya saja dan pemahaman utama. Selanjutnya, pada saat ujian, para mahasiswa diberi soal yang tujuannya mengembangkan dasar program itu menjadi sebuah program ciptaan sendiri. Siapa yang programnya dinilai kreatif dan futuristik, dia yang akan dapat nilai A. Sedangkan di IPB, siapa yang jawabannya benar semua, dia yang dapat A.

Begitu juga teman dari jurusan Teknik Industri dari Unjani, Bandung. Saat saya tanya tentang mata kuliah Manajemen Industri, mereka mengungkapkan bahwa yang dipelajari adalah tentang dasar-dasar efektifitas produksi. Kemudian saat ujian, para mahasiswa akan menghadapi soal yang menstimulir analisis mereka tentang efektifitas bekerja di sebuah industri. Siapa yang bisa menciptakan skema yang efektif dan efisien, mereka yang dapat nilai A. Sedangkan di IPB, ada mata kuliah Manajemen Umum, yang dimana ujian bisa dapat A kalau bisa menghafal plek ketiplek isi buku Dasar Manajemen.

Lagi-lagi, "Mampus gueee!" menghadapi medan mata kuliah di PSP dan kondisi cara belajar mahasiswa IPB. Jangan-jangan malah berujung drop out (DO), amit-amit. Dan nyaris saja, lantaran tak mampu memahami secara maksimal mata kuliah yang ada karena kurang suka, ditambah tak bisa mengejar cara belajar di IPB, nilai IPK saya hingga menjelang smester 4 masih di bawah 2,0 brow! Tapi akhirnya, ketika lulus jadi sarjana lulusan IPB, IPK saya hanya 2 koma alhamdulillah, yang penting bisa jadi sarjana. Saya sudah tak membayangkan S2 lantaran IPK yang culun itu.


Kerja idaman

Namun kuliah ilmu perikanan dan kelautan, tidak pula bisa saya bilang percuma alias sia-sia. Karena saya mendapat kesenangan baru dari mata kuliah (matkul) Praktek Laut Perikanan, yang membuat diri ini seperti jurnalis National Geographic yang keren itu. Akhirnya saya malah punya rencana, lulus dari IPB mau jadi jurnalis khusus perikanan dan kelautan saja. Dalam hati ini berkata, "Emangnya ada itu pekerjaan kayak gitu?" Pertanyaan tersebut pun saya simpan sejak itu, sejak 2002 saat dinyatakan lulus dan wisuda.


Matkul Praktek Laut Perikanan tahun 1999


Karena yang ada justru pekerjaan jurnalisme di harian (koran) atau TV (belum seperti sekarang, media jurnalisme beralih ke internet). Akhirnya dengan IPK yang ibaratnya mepet jurang, saya nekat melamar ke perusahaan media massa yang sedang membuka lowongan jurnalis. Singkat cerita, saya diterima jadi jurnalis, di harian lokal Surabaya. Dari situ, saya kumpulkan karya jurnalisme dan menjadikannya modal untuk pindah ke perusahaan media massa yang lebih besar lagi.

Dan benar saja, berkat pengalaman demi pengalaman serta karya-karya yang ada, saya diterima di perusahaan media massa yang lebih besar, bahkan sampai di sebuah stasiun TV nomor wahid di Indonesia saat itu (tahun 2008-2009). Lalu pada 2013-2014, saya mendapat kesempatan untuk diterima bekerja menjadi jurnalis di media asing, yang berkantor di Singapura. 

Dan setelah 20 tahun, pertanyaan tersimpan saya pada 2002 lalu tentang 'Adakah media massa khusus perikanan dan kelautan?' ternyata terjawab sudah. Ternyata ada. Kini, sejak awal 2020 saya bekerja di www.maritimefairtrade.org yang juga berkantor di Singapura. Media tersebut berbahasa Inggris sebagai bahasa utama, dan ada bahasa lainnya yaitu Bahasa Indonesia dan Tagalog, sebagai bahasa lainnya. Semoga suatu, saat media asing ini membuka lowongan lagi untuk para jurnalis dari Indonesia, yang dulunya kuliah di bidang perikanan dan kelautan.