AI: Dilawan atau Kolaborasi?

Isu terkait AI yang beberapa waktu ke belakang muncul dan masih terus dibahas oleh para penulis di seluruh dunia hingga saat ini, adalah mengenai "Haruskah kita lawan AI atau berkolaborasi dengan AI?". 

Banyak penulis yang secara terang-terangan menyatakan perlawanan terhadap AI, bahkan hingga melakukan unjuk rasa. Sekelompok penulis yang menamakan diri The Writers Guild of America (WGA) misalnya. Seperti mengutip Organiser yang dipublikasikan pada awal Mei 2023 lalu, para penulis tersebut meminta pihak studio di Hollywood untuk menghentikan penggunaan AI dalam hal peenulisan kreatif. Menurut mereka, AI tidak mampu menulis atau menulis ulang materi sastra.

Namun apakah bisa melawan kemunculan AI di tengah rutinitas manusia? Meniadakan mereka agar tidak merangsek ke dalam pekerjaan manusia, khususnya pekerjaan para penulis? Bila WGA menyatakan "bisa" dan memang menentang keras keberadaan AI, namun sebaliknya dengan Tim Bouncher, seorang penulis novel. Kepada New York Post, Tim Bouncher mengaku berhasil menyelesaikan 97 mini-novel dalam waktu kurang dari setahun, melalui kolaborasi AI.

Dia memanfaatkan dua aplikasi AI dalam hal penulisan, yakni ChatGPT dan Anthropic's Claude untuk membangun cerita. Bonser memerlukan pengembangan fakta dan pengayaan data untuk cerita-cerita yang dia bikin. Dia pun memanfaatkan kedua aplikasi AI tersebut dan akhirnya tersusunlah sebuah cerita menarik. Bahkan Bonser mengaku mini-novel karyanya itu berhasil meraih banyak penjualan. Seri demi seri selalu tidak pernah sepi pembeli.


Ilustrasi: https://futureoflife.org/


Maka dari fakta yang ada, memang sebaiknya manusia bisa memanfaatkan kehadiran AI untuk membantu pekerjaan mereka, terutama dalam hal kecepatan dan keakuratan data. Meski begitu -seperti yang diungkap para penulis WGA dan juga Bouncher, AI memang memiliki kelemahan utama, yaitu selain tidak mampu menulis sebuah sastra, juga AI tidak mampu membuat cerita panjang yang koheren. Itulah sebabnya Bonser memanfaatkan AI tersebut, dan bukan memercayai AI melakukan penulisan secara murni. 

Itu dari sektor pekerjaan tulis-menulis. Dari sisi yang lain seperti seni musik, banyak kita dengar opini para penikmat musik yang mengeluhkan 'keringnya' lagu-lagu jaman sekarang. Berbeda dengan lagu yang diciptakan pada era 1970 hingga sebelum 2005. Karena lagu-lagu di era tersebut masih diciptakan dengan hasrat dan perasaan manusia. 

Sedangkan lagu-lagu di era 2010 hingga saat ini, sepertinya diciptakan dengan membiarkan AI mengambil alih keindahan seni musik. Akhirnya lagu-lagu yang terdengar oleh telinga tidak mampu meninggalkan kesan indah, yang akhirnya bisa tersimpan 'abadi' di hati pendengarnya.

Begitu pun di dunia fotografi. Bisa saja AI mengakumulasi komposisi foto, cahaya, dan warna untuk menghasilkan gambar yang indah. Namun secara konsep dan maksud artistik foto, hanya manusia yang bisa membuatnya. AI hanya sebatas membantu merangkainya dengan presisi yang baik.

Apa penyebabnya? Itu lantaran boleh saja AI mengalahkan kemampuan otak kiri dan tenaga manusia yang terbatas, namun AI sepertinya tidak akan pernah mampu menyamai (apalagi menandingi) kemampuan yang mengolah emosi manusia dan perasaan, apalagi psikologi.


Referensi:

https://organiser.org/2023/05/03/172138/world/chatgpt-row-hollywood-writers-protest-against-artificial-intelligence-claiming-its-taking-away-their-jobs/ 

https://nypost.com/2023/05/22/author-uses-ai-generators-including-chatgpt-to-write-nearly-100-books-in-less-than-a-year/ 

Post a Comment

0 Comments