Menuju pertengahan tahun 2025 adalah perjalanan waktu yang cukup menyedihkan bagi dunia jurnalistik. Pada akhir Desember 2024 ada ANTV yang memberhentikan (lay off) beberapa jurnalis serta karyawan lainnya.
Kemudian Februari 2025 di RRI terjadi hal yang sama. Memasuki Mei 2025 ada Kompas TV bersama beberapa media massa lainnya mengurangi karyawan.
Menjadi semakin haru ketika presenter Gita Maharkesri menutup siaran terakhir Kompas Sport Pagi menandakan berakhirnya program informasi tentang olahraga di Kompas TV tersebut. Kemungkinan, akan ada pengurangan karyawan termasuk jurnalis dari media massa lainnya, seiring dengan perubahan behavior konsumen informasi.
Dulu, media massa bisa mengendalikan pembaca dan penonton melalui apa yang dinamakan prime time. Surat kabar, mengincar prime time berita ekonomi pada Senin, di mana kegiatan ekonomi di bursa saham dan perbankan dipaparkan sebanyak mungkin. Sedangkan Sabtu-Minggu, menjadi prime time bagi pembaca yang mencari informasi tentang sosial, budaya, lifestyle, dan humaniora.
Di televisi, ada jam tayang primer di mana pada waktu tertentu, suguhan informasi liputan harian ditayangkan di waktu tersebut. Misalnya ketika jam makan siang, satu jam sebelum aktifitas kantor di mulai, hingga tayangan pada jam makan malam dan istirahat keluarga.
Di prime time itulah iklan-iklan bertebaran menghidupkan media massa.
![]() |
Angiola Harry | journalist of Hops.ID | Singapore correspondent | founder of Angrybow.com |
Namun saat ini, dengan bebasnya jam tayang informasi, para content creator (dari yang paham koridor jurnalistik atau tidak) menyuguhkan informasi apapun yang bisa tayang kapan saja. Cukup rekam pakai smartphone kemudian sunting sedikit, dan langsung naikkan ke media sosial (medsos). Bahkan tak perlu editing, informasi telanjang bisa disaksikan langsung (live) kapan saja di medsos.
Iklan pun bisa masuk kapan saja, melalui ads feature di medsos. Bahkan ada medsos yang menyediakan fasilitas saweran bagi sebuah posting dan live streaming. Bagi dunia bisnis, mereka tidak lagi peduli tentang siapa yang menayangkan informasi. Pebinis tidak peduli lagi tentang siapa pengampu informasi itu. Apakah media massa dengan oplah dan kantor yang megah atau hanya seorang warga biasa yang memiliki kepercayaan diri tinggi sehingga memiliki banyak penonton.
Kalau akun media massa besar tersebut kalah penonton, maka pemenangnya adalah warga biasa dengan subscibers dan followers besar tadi, sehingga iklan, saweran, dan endorsement larinya ke si orang ini. Ujungnya adalah jurnalistik sesuai kode etik akhirnya kalah oleh jurnalisme warga yang telanjang, bahkan tanpa kenal kode etik.
Dengan perspektif yang satu arah saja, yakni dari modal pemikiran sendiri, seorang content creator kemudian membuat opini tentang suatu hal. Tidak ada konfirmasi dari pakar atau pengamat, si content creator ini dengen 'pede'-nya membuat opini tersendiri tentang satu hal. Celakanya, opini tersebut dianggap informasi keren dan berguna bagi penonton yang kurang literasi, yang belum mampu membaca plot-twist dari peristiwa atau isu tertentu.
Alhasil terjadilah penggiringan opini rentan bahaya di tengah masyarakat.
![]() |
Ambil contoh seorang ibu yang pulang belanja dari pasar, kemudian dikejar anjing dan akhirnya jatuh terperosok ke selokan dengan kaki berdarah-darah dan si ibu berteriak kesakitan. Seorang content creator jalanan merekamnya secara live. Namun dalam live itu dia melaporkan dengan kalimat, "Ibu di belakang saya barusan digigit anjing gila! Ibu itu sepertinya akan terkena rabies!"
Tayangan pun viral. Ditonton hingga puluhan ribu orang di hari itu. Esoknya, pihak Dinas Kesehatan kebakaran jenggot karena memperkirakan ada potensi masuknya wabah rabies di daerah itu. Bisa dibayangkan, informasi telanjang (tanpa konfirmasi) dari seorang content creator jalanan bisa menyibukkan institusi pemerintah dalam waktu kurang dari sehari.
Padahal, dalam jurnalistik, informasi yang telah didapat dari suatu peristiwa di lapangan harus diuji dulu kebenarannya sebelum masuk ke ruang publik. Maka perlu adanya kejar narasumber untuk mengonfirmasi kebenaran dugaan si reporter yang melihat kejadian. Tidak bisa perspektif reporter itu langsung tayang ke ruang publik, seperti halnya posting medsos dari seorang content creator tanpa basic of journalism.
Lantas, apa yang bisa dilakukan? Mungkin perlu revisi Undang-Undang Jurnalistik (UU No. 40 Tahun 1999) demi memfiltrasi konten yang berpotensi bahaya menyeruak ke ruang publik.