Hargai Jurnalisme, Bila Memang Merasa Masyarakat Demokratis

Angrybow
By -
0

Kerja para fotojurnalis ketika di lapangan, memang kerap dibilang norak oleh banyak orang yang tidak paham. Bagaimana tidak, saat objek jurnalistik muncul ke publik, mereka langsung berkerumun dengan kamera dan lensa, serta lampu kilatnya, mengarah ke si objek.


Adapun si objek ini bisa saja seorang narasumber hingga narapidana, bisa manusia bahkan hewan, pokoknya, hadirnya objek berita tersebut tidak boleh luput dari rekam gambar sang fotojurnalis.


Jangankan berkonfrontasi dengan orang-orang di sekitar objek yang tidak ingin si tuannya itu diambil gambarnya -seperti manajer artis, pengacara, bahkan hingga bodyguard dan aparat keamanan, para fotojurnalis ini juga sering konfrontasi dengan sesamanya.


Misalnya, ketika ada seorang fotojurnalis sedang mengambil gambar, tiba-tiba di hadapannya muncul rekannya menutupi lensa. Tidak jarang terjadi saling bersitegang, ketika sama-sama dalam tekanan tinggi tugas.


Namun, bagi sesama jurnalis, kekesalan tersebut masih sedapat mungkin dimaklumi karena mengingat tanggung jawab yang sama kepada kantor. 


Tak ayal, mereka yang bukan sesama jurnalis sering kesal melihat kelakuan para pewarta foto ini. Bahkan ada yang sampai menilainya sebagai para juru foto kampungan.


Begitulah sekelumit keseharian para fotojurnalis di lapangan. Silakan saja dinilai sesuai perspektif masing-masing, namun yang pasti, dilansir dari New York Times Licensing, kehadiran mereka adalah sebagai pendukung informasi publik, baik primer maupun sekunder.


Sekunder karena kelak foto yang mereka dapat, akan dipakai untuk mendukung ulasan dari penulis berita. Menjadi primer, karena justru caption (tulisan singkat) malah menjadi pendukung dari gambar hasil jepretan fotojurnalis.




Para fotojurnalis juga seperti pekerja lainnya, yang kerap mendapat kekecewaan lantaran tidak mencapai target.


Di dunia fotojurnalistik ada satu prinsip yang tidak boleh ditinggalkan, yaitu nilai berita atau ada unsur informasi yang diperlukan publik.


Di luar unsur nilai berita itu, maka gambar atau foto yang kita bawa ke kantor dianggap sebagai nilai hiburan bagi sang juru foto saja.


Bagi yang berstatus koresponden, sudah tentu tidak ada bayaran bagi foto yang reject. Sedangkan wartawan yang berstatus karyawan kantor berita, masih ada gaji untuk menopang kegagalan, meski kegagalan itu tidak bisa terjadi tiap hari.


Para fotojurnalis, meski mendapat penolakan hasil kerja, di saat yang sama justru mereka mendapat anugerah.


Foto yang di-reject tersebut tidak boleh kalah oleh kekecewaan. Pada fotojurnalis biasanya mengarsipkan foto yang ditolak tersebut, yang justru mereka anggap (dalam perspektif mereka) sebagai foto yang bagus.




Jelek bagi kantor karena tidak sesuai kriteria jurnalisme para redaktur, belum tentu jelek bagi konsumen lain.


Ketika dijadikan sebagai portfolio dan diajukan ke calon klien, tidak jarang ada klien yang memiliki perspektif sama dengan si fotojurnalis itu. Akhirnya mereka mendapat uang dari pintu yang lain. 


Seperti kata orang bijak, rezeki tidak hanya dari satu pintu. Dan bagi masyarakat umum, bila memang merasa sebagai bagian dari masyarakat di negara yang demokratis, mari, mulailah menghargai profesi para pekerja foto.


Post a Comment

0Comments

Post a Comment (0)

#buttons=(Baiklah!) #days=(20)

Website ini menggunakan cookies. Cek Dulu
Ok, Go it!