Seorang pemimpin perusahaan media massa terkemuka di Indonesia tersenyum kecil perusahaannya berhasil meraih target pendapatan iklan Rp 2 miliar. Sebaliknya, para karyawan perusahaan sumringah karena kerja keras mereka tak sia-sia. Namun kemudian si pimpinan perusahaan berhidung besar itu mengatakan, "Bulan depan minimal pendapatan iklan Rp 8 miliar!"

Ungkapan itu pun disambut dengan reaksi datar para karyawan. Hanya terdengar hiruk pikuk ringan dengan ekspresi wajah tersenyum, namun dibarengi kerutan dahi, "Wah..." Ada pula peserta yang dengan suara sayup mengungkapkan, "Ngasih target memang mudah bos, tapi menjalankannya?" 


Meski begitu, reaksi para peserta tersebut telah terbaca oleh sang pemimpin perusahaan, dan tentunya dia tak peduli. Pada hakikatnya, terungkap bahwa para karyawan perusahaan media massa itu memang bagus dalam bekerja. Namun masih belum bagus dalam menyikapi pekerjaan. Dalam hal ini, belum bagus yang dimaksud ialah kurangnya semangat para karyawan.

Sebenarnya fenomena tersebut -tanggapan datar bahkan negatif terhadap tugas yang diberikan atasan- sudah umum terjadi pada karyawan, dimana-mana. Konsultan PT Ekselensia Persada Dra Puspita Zorawar M, Psi mengatakan fenomena seperti itu tak lain adalah ciri persoalan engagement atau ikrar diri terhadap sebuah komitmen.  "Performa karyawan akan baik bila dalam dirinya terdapat engagement yang baik pula," ungkap Puspita saat menjadi pembicara dalam sebuah diskusi panel bersama sebuah bank BUMN akhir September lalu.

Membenci atasannya sendiri

Tak ingin dianggap sekedar menuding, Puspita memaparkan sebuah data yang didapat dari survey para karyawan perusahaan besar dan BUMN di Indonesia. Data survey itu berisi tentang pendapat karyawan yang memutuskan untuk resign atau mengundurkan diri. Terungkap bahwa 70 persen karyawan mengundurkan diri bukan karena tak menyukai pekerjaannya, melainkan benci atasanya. 


"Ada barrier dalam pencapaian target. Inilah yang membuat frustasi para manajer, yang tentu pula membuat perusahaan stagnan atau mundur," ungkap Puspita. Tak ayal, manajer tidak bisa menemukan adanya engagement mereka terhadap perusahaan. Lebih jauh Puspita menjelaskan, ada empat tipe engagement karyawan:

Pertama tipe karyawan efektif, yakni mereka yang memiliki skill tinggi dibarengi semangat dan kesetiaan yang tinggi. 
Kedua, karyawan detached, yakni mereka yang berkemampuan (skill) tinggi, namun semangat dan loyalitasnya loyo. 
Ketiga adalah karyawan frustasi, yang memiliki semangat dan kesetiaan cukup tinggi namun skill mereka rendah. 
Dan yang terakhir ialah tipe karyawan tak efektif, dengan semangat kerja, kesetiaan, serta kemampuan yang rendah. 

Tipe terakhir tak lain adalah karyawan benalu. Perusahaan tak bisa menghindari terdapatnya klasifikasi tipe karyawan tersebut. Namun perusahaan yang prima adalah yang 95 persen karyawannya efektif, sisanya hanya karyawan detached. Itu pun dengan manajemen yang terus mendorong peningkatan jumlah efektifitas karyawan. Lantas adakah perusahaan seperti itu di Indonesia? "Tentu ada, tapi berapa banyak jumlahnya, dapat terlihat dari data berikut ini."

Puspita pun memaparkan bahwa dari tiga negara terkemuka di Asia Tenggara, yang memiliki perusahaan dengan nilai survey engagement 4,29 atau world class company, Indonesia menduduki peringkat terbawah. Singapura, negara yang 90 kali lebih kecil dari Indonesia, terdapat 42 persen world class company. Sementara Malaysia 32 persen. Indonesia hanya 29 persen saja. Apa yang terjadi pada Indonesia? 

Veteran, Gen X, dan Gen Y

Menurut Puspita ada gap generasi di dalam perusahaan dan instansi di Indonesia, yang menyebabkan kerap terjadi perselisihan, yang berujung terhambatnya kemajuan perusahaan. "Berdasarkan pantauan kami di beberapa BUMN, ada tiga generasi yang berkolaborasi, yakni Gen Y, Gen X, dan Baby Boomers atau veteran," ungkap Puspita. 

Yang tertua adalah baby boomers, yakni mereka yang lahir sebelum 1964. Gen X adalah generasi pada rentang kelahiran 1965-1981. Dan yang terakhir adalah Gen Y, atau mereka yang lahir pada 1982 dan setelahnya. "Permasalahannya adalah komunikasi antar generasi. Disinilah yang akar permasalahannya."


Secara teknis mengenai permasalahan gap antar generasi yang kerap ditemui, Direktur Human Resource Kraft Food Indonesia Irvandi Ferizal, memaparkan generasi veteran dalam menjalani hidupnya banyak melakukan penjelajahan sehingga merasa lebih suka memimpin. "Dan memang mereka tumbuh dengan banyak pengalaman hidupnya," tukas Irvandi. Sehingga, lanjut Irvandi, mereka cenderung lebih ingin diikuti keinginannya. "Pertemuan antara para veteran ini dengan Gen Y memang kerap diwarnai kontra, namun kontra itu tidak separah kolaborasi antara Gen X versus Gen Y. Karena jumlah veteran di perusahaan-perusahaan tidak sebanyak Gen X, dan Gen Y masih mau menerima nilai keteladanan dari para veteran itu."

Sedang Gen X kerap merasa sebagai generasi yang paling berbobot. Pasalnya mereka hidup di masa pembangunan, dimana semua orang hidup dengan melibatkan diri di setiap peristiwa dan berjuang mencari tahu lebih banyak. Tak heran bila Gen X lebih terinci dalam merancang sesuatu dan berbicara cenderung panjang lebar. Masalahnya, saat berhadapan dengan Gen Y yang hidup di zaman serba tersedia sarana dan prasarana, Gen X merasa tidak perlu melibatkan Gen Y lebih jauh dalam programnya, dengan kata lain Gen X menginginkan Gen Y sebagai pelaksana. Gen X sangat menghargai sejarah panjang perjuangan, sehingga mereka cenderung memilih tim yang segenerasi. "Padahal Gen Y ingin agar mereka dilibatkan, ingin tahu arah dan tujuannya," pungkas Irvandi.

Adapun Gen Y merupakan generasi yang hidup dengan segala informasi sudah tersedia, yang cenderung menginginkan sesuatu dengan cara to the point. Mereka kerap mengharapkan tanggapan yang segera, baik penghargaan maupun hukuman, atas apa yang mereka baru saja kerjakan. Gen juga Y cenderung individualisme, karena mereka mengelola informasi yang tersedia. Dalam menilai sebuah program, tak heran bila Gen Y lebih melihat apa yang bisa diberikan perusahaan terhadapnya, serta brand dari sebuah perusahaan tersebut. "Bahkan mereka tak segan menanyakan CSR perusahaan saat dalam tahap tes masuk kerja."

Sementara Gen X terjebak dengan stigma membangun, Gen Y justru sudah berpikir bagaimana cara mengatur hasil dari sebuah proses atau pembangunan untuk sebuah tujuan. 

"Maka generasi sebelum Gen Y seharusnya sadar bahwa Gen Y memang hadir untuk me-manage Gen X dan veteran. Gen Y harus diarahkan bagaimana me-manage generasi sebelumnya, inilah sinergi yang harus diterapkan guna meningkatkan engagement karyawan," ungkap Irvandi. Sehingga menurut Irrvandi, ke depannya, peran Gen Y adalah mengelola dan memimpin. Sementara Gen X dan veteran mendukung dari belakang, dengan memastikan prosesnya serta menjadi konselor para Gen Y.