Apakah Neo-Nasakom itu Tujuannya?

Angrybow
By -

"Berfikir adalah hak asasi manusia. Silakan lapor ke PBB bila kita dilarang berfikir." - Angiola Harry




Inspirasi

Mari mulai pikirkan kata singkat ini, "Inspirasi". 

Nah, ada kata "aspirasi", yaitu sebuah harapan yang ingin disampaikan. Sedangkan inspirasi adalah dorongan untuk mewujudkan sebuah harapan. Jadi inspirasi muncul, biasanya setelah ada aspirasi. 

Kemudian bila kita penuh dengan inspirasi, bagus atau tidak? Dan macam mana pula bila inspirasi itu muncul dari sosok seseorang? Yaitu bagaimana bila inspirasi itu muncul dari dia, si dia yang sering melihat bingkai kehidupan bernegara? 

Akan mengandung politik kah inspirasi itu? Ya pasti. Tentunya akan ada motivasi politik dalam inspirasinya.

Dan ketika inspirasi-inspirasi itu mulai berkumpul jadi satu di dalam kepalanya, maka akan banyak harapan-harapan yang harus diwujudkan. Problemnya adalah, di kepalanya ada banyak sektor inspirasi. Ada politis, ada inspirasi seni, ada inspirasi bisnis, dan sebagainya.

Akan bagus bila orang tersebut memiliki kemampuan manajerial yang baik, atau punya banyak pengalaman manajerial. Orang itu biasanya akan mengorganisir inpirasinya, terfokus pada satu sektor, tidak terdistraksi oleh sektor lain, sehingga jadilah dia seorang inspirator. Seorang inspirator akan mengatur inspirasi mana yang akan diwujudkan.

Namun bila dia ternyata tidak memiliki kemampuan manajerial, yang dikuatirkan adalah orang tersebut malah membuat konspirasi. Kenapa konspirasi? 

Sekarang mari kita pikirkan kata "instruksi", yang berbunyi, "Letakkan benda itu di sini." Kemudian kita dengar lagi instruksi lainnya, "Letakkan benda itu di sana." Dan banyak lagi instruksi yang kita dengar. 

Bila kita memiliki kemampuan manajerial yang baik maka tidak semua instruksi harus langsung dikerjakan bersamaan, karena kita harus juga melihat situasi dan kondisi. Itulah yang dilakukan seorang instruktur handal, karena dia memiliki kemampuan mengatur instruksi mana yang tepat dikerjakan duluan. 

Apalagi mereka yang terbiasa menangani proyek pembangunan (baik diri sendiri maupun sebuah proyek bisnis), pasti instruksi tersebut sudah menjadi konstruksi yang nyata, yang kokoh.

Namun bila dia tidak memiliki kemampuan mengatur instruksi, maka dia akan menciptakan konstruksi rapuh. Sehingga nantinya, hanya akan tercipta kumpulan instruksi yang bertumpuk. Apakah nanti tumpukannya akan terlihat bagus atau jelek, yang penting bertumpuk.


Ilustrasi : HBR.org



Kesimpulannya, ketika seorang yang tidak memiliki kemampuan manajerial harus menerima banyak instruksi, maka dia tidak bisa menjadikan instruksi itu sebagai sebuah manfaat, melainkan hanya sebatas tumpukan pekerjaan. 

Begitu juga inspirasi. Ketika dia tidak mampu mengatur inspirasi mana yang baik untuk diwujudkan, maka di kepalanya hanya bertumpuk harapan-harapan yang entah bagaimana mewujudkannya. 

Akhirnya lahirlah kumpulan inspirasi tak tertata yang biasa disebut konspirasi gila. Bila kebetulan cocok dengan situasi yang berkembang, konspirasi itu menjadi seperti masuk akal bagi yang sedang belagak gila. Ingat "seperti masuk akal" bukan benar-benar masuk akal. 

Sedangkan seorang inspirator brilian yang dia hasilkan adalah ide yang masuk akal untuk diwujudkan. 

Konspirasi untuk Negara

Kita sudah mempelajari sekelumit bersama tentang inspirasi dan konspirasi. Lalu bagaimana bila banyak orang-orang yang memiliki harapan atau aspirasi yang berdasarkan bingkai informasi politik yang dia dapat? Dan informasi politik tersebut, kemudian berkolaborasi dengan fakta sejarah. 

Maka apa yang terjadi? Harapan tersebut kemungkinan besar menjadi inspirasi politik. Dan orang seperti itu biasanya akan bermotivasi untuk selalu menengok sejarah politik. Dan biasanya pula, ketika mereka tidak mampu mengelola informasi yang beredar di kepalanya, dia akan membuat konspirasi gila politik.

Ada yang lucu dari peta politik Pemilu 2019 lalu, dimana ada dua pasangan calon yang sangat sengit bersaing. Lalu pendukungnya pun terbelah dalam dua garis yang sangat jelas. Sehingga yang kemungkinan terjadi adalah akan adanya motivasi-motivasi dari dua garis ini : 

Garis pendukung 01 (Cebong) 
Garis pendukung 02 (Kampret)

Saat kita kelompokkan inspirasi Garis pendukung 01. Akan tampak kemana arahnya. Begitu juga dari pendukung 02, akan terlihat maunya kemana. Namun Bagaimana bila inspirasi keduanya dijadikan dalam satu gabungan? Bisakah jadi konspirasi? Maka inilah yang menjadi sangat menarik.

Secara konkrit, dua kubu pada Pemilu 2019 ini tampak jelas motivasinya : Fundamentalis Religi pada Kampret dan Moderat Liberalis pada Cebong. 

Namun satu hal yang menjadi kekecewaan para pendukung fanatik kedua kubu adalah keduanya malah 'melebur' pada akhirnya (mengambil jabatan yang ditawarkan). 

Pendukungnya pun kecewa, "Mengapa pula si bapak harus begitu? Kenapa dia terima?" 

Lalu kubu yang satu lagi juga bilang. "Apa faedahnya dia mendukung di sini, apa harus kita terima dia?"




Bagi saya sebagai jurnalis, kedua orang yang maju di ajang Pemilu 2019 ini, bisa jadi juga ada unsur motivasi pihak di atasnya, yang didasari oleh investasi. Saya ambil kata "investasi" bukan berdasarkan opini yang mengarang saja. Karena perihal investasi ini seperti menjadi perbincangan khusus di kalangan elit politik. Entahlah siapa nanti yang menggawangi investasi di negeri ini, yang pasti, ini akan pecah telor.

Apa sebab? Sebenarnya dari motivasi pihak yang ada di atas kedua kubu ini (yang disebutkan tadi bahwa dia punya maksud investasi), kita sudah bisa melihat inspirasinya. Terlebih untuk maju dalam bursa Pemilu 2019 tersebut, tidak bisa dengan biaya kecil. 

Lalu apa motivasinya? Siapa gerangan pemilik motivasi itu? Saya tidak akan menyebut, karena saya rasa ada yang lebih paham dan bisa menunjuk hidungnya langsung.

Saya hanya menyebutnya sebagai MOTIVATOR. Menurut analisa saya, si Motivator ini ingin agar memang terjadi polarisasi di negara ini sejak lama. 

Terpecah jadi dua golongan (Ilustrasi: Victeezy)


Mengapa? Karena sejak dulu, mereka memang mencari cara untuk bagaimana supaya di Indonesia ini bisa muncul polarisasi seperti ini. Indonesia sejak dulu adalah negara yang memiliki toleransi tinggi. Sejak dulu, sejak puluhan tahun. 

Golongan A,B,C,D bisa menyatu dengan golongan E,F,G,H, dan sama-sama bergotong royong membangun negeri yang Gemah Ripah Loh Jinawi ini. 

Bila ada apa-apa maka dilakukanlah musyawarah A,B,C,D,E,F,G,H untuk mencapai mufakat, mencapai keadilan. Sejak itulah negara Indonesia menjadi teladan bagi se-kawasannya (ASEAN) dan paling kuat. Namun apa yang terjadi? Akhirnya semua itu selesai di 2019.

Polarisasi ini benar-benar memecah belah. Golongan A,B,C,D, akan susah bila masuk ke golongan E,F,G,H. 

Dan ketika ada masalah sedikit, rusaklah semua. Tidak banyak lagi manfaat musyawarah. Semua berujung pada sengketa, saling menjatuhkan. Negara pun makin terpuruk di ASEAN, sedikit lagi mungkin menjadi yang terburuk.

Lantas apa yang diinginkan dengan adanya polarisasi ini? Siapa yang akan mengambil keuntungan? 

Mungkin bila ditilik sejarah, Indonesia pernah juga mengalami polarisasi serupa. Bahkan lebih rumit. Dimana ada kaum nasionalis, ada religius, dan satu lagi, yaitu komunis. 

Mereka ingin disatukan dalam bentuk Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis). Berbahayakah bila Nasakom diwujudkan? Entahlah tapi mungkin akan tinggi sekali pergesekan di dalamnya. 

Karena bila mereka semua dalam satu wadah, pasti negara akan membuat sekat-sekat pada tiap pihak agar bisa jelas batas aktivitas mereka masing-masing. Lalu bisakah sekat-sekat ini dilebur dalam satu sistem? Saya tidak tahu. Apakah manfaatnya bagus bila semua melebur? Ya tidak tahu juga.

Dulu rencana Presiden Soekarno memang demikian, tapi sayang disayang tidak pernah terwujud. Dan mengapa Soekarno sangat berhasrat me-Nasakom-kan semuanya? Mungkin karena memang menurutnya ada manfaat baiknya, who know?

Soekarno ingin melebur semua kaum tersebut; nasionalis, agamis, komunis jadi satu. (Tapi aneh memang, komunis disandingkan dengan agamis? Lalu ingin dileburkan pula. Seperti Mission Impossible saja jadinya.)

Nah, bagaimana dengan saat ini? Karena belum ada inspirator yang bisa membuat peta politik yang bagus tentang hal ini, bahkan sekelas Mardigu WP pun. Maka saya terpaksa mengarahkan opini saya ini seperti apa yang pernah diinginkan Soekarno. Saya jadikan fakta politik ini sesuatu dengan inspirasi Soekarno sehingga dalam tulisan ini, Presiden Soekarno-lah inspiratornya, bukan saya.

Menurut saya berkaca pada apa yang pernah terjadi dahulu, saya mengatakan, kemungkinan motivator ini ingin membuat sesuatu yang baru yakni Neo-Nasakom. Karena bila dilihat, tampaknya upaya untuk menyatukan kaum-kaum ini tampak jelas. 

Di level kebijakan, seperti ada sekat antara agama dengan pemerintahan dan sosial kemasyarakatan. Apa keuntungan bila Neo-Nasakom ini diwujudkan? Saya kembalikan sajalah ke pembaca nan budiman.
Tags:

#buttons=(Baiklah!) #days=(20)

Website ini menggunakan cookies. Cek Dulu
Ok, Go it!