Cerita ini, selain hanya tulisan santai pengingat kenangan masa sekolah kita masing-masing, juga upaya untuk memanggil teman-temanku yang terlibat di cerita ini. Apakabar pada-pada cuy?

Sebagai remaja Jakarta di era 90an, orang tua kami kerap kuatir dengan kondisi pelajar saat itu. Tawuran demi tawuran yang memakan korban tewas membuat was-was para orang tua dan guru, dan tentunya juga para siswa. Namun sebagai siswa, tentunya banyak antisipasi yang dilakukan, karena mereka adalah subjek dan juga objek tawuran. Untungnya tawuran adalah kejadian yang tidak muncul tiap hari. Dan ketika terjadi pun, masih banyak cara menghindari, seperti bersembunyi, berganti pakaian, dan mencari jalur pulang alternatif menghindari kawasan tawuran.

Tapi yang juga menjadi kekhawatiran para pelajar Jakarta saat itu adalah premanisme di jalan, seperti ditodong, dipalak, jadi objek bullying, dan kekerasan. Kejadian seperti ini bisa saja berulang. Misalnya terjadi hari ini, bisa juga dialami keesokan harinya. Namanya juga tiap hari bersekolah. Menghadapi hal-hal seperti itu, banyak cara yang dilakukan para siswa.




Dari pura-pura kere hingga membuat 'kantung ajaib' dimana uang ongkos disimpan di tempat tersembunyi. Ini dilakukan biasanya oleh para siswa, dengan membuatnya di bagian celana sekitar jahitan ikat pinggang. Sehingga ketika mereka menjadi korban pemalakan -yang biasanya digeledah kantung baju dan celana serta tas, para pemalak akhirya yakin bahwa mereka memang tidak punya apa-apa lagi dan dibiarkan pulang.

Lalu bagaimana dengan yang kedapatan memiliki uang lebih dan atau barang-barang bagus di tas mereka, seperti topi, audio walkman (jaman sekarang mungkin iPod, camera action, dan gadget lainnya), sepatu, dan barang-barang kecil lainnya? Ya terpaksa, pasrah. Karena melawan, taruhannya bisa nyawa. Maka di era tersebut, mereka yang mengenakan sepatu keren, pernak-pernik, dan sebagainya yang menarik perhatian, jangan pernah berpikiran untuk pulang atau pergi sekolah naik angkot. Itu cari masalah namanya.

Namun ada juga yang entah nekat atau memiliki modal diri, mereka melawan. Sesuai judul tulisan ini, ada beberapa teman yang memang menghadapi hal-hal tersebut dengan cara mereka sendiri, khususnya dengan tenaga dalam. Percaya atau tidak, kejadian bullying yang terjadi kepada mereka, dihadapi dengan pembelaan diri yang luar biasa. Saya sendiri, penulis blog ini adalah alumnus SMA Negeri 42, Jakarta Timur, yang letaknya di area bandara udara Halim Perdana Kusuma. Ada beberapa kawan yang kedapatan melakukan caranya yang misterius itu, dan sukses membuat para bullyers tersungkur hingga tunggang langgang.

Imron Rosadi adalah kawan seangkatan saya, yaitu lulusan 1996. Semoga dia sehat selalu, karena saya belum berhasil menemukan medsos-nya. Saat itu yang saya lihat adalah kejadian bullying dari seorang kakak kelas -yang sayangnya dia malah jadi satu angkatan dengan kami (veteran). Tak bijak juga bila kita sebut namanya karena beliau ternyata sudah almarhum (semoga diampuni segala dosanya). Dia mengintimidasi salah seorang teman sekelas Imron Rosadi. Ketika si veteran sudah dinilai keterlaluan, saya melihat langsung Imron memegang pergelangan tangan si pelaku dan mendorong si pelaku hingga tersungkur. Si pelaku pun pucat dan tidak berani lagi melakukan apa-apa di hadapan Imron.

Imron Rosadi sendiri berasal dari SMP KAPIN, kami berdua pun alumnus sekolah itu. Dari SD, temanku yang pembawaannya kalem dan optimis ini rupanya sudah belajar bela diri ilmu silat dengan nama perguruan Trigan. Selain hebat dalam ilmu silat dan tenaga dalam, Imron juga kerap menjadi qori (pembaca Al Quran) di tiap acara keagamaan di SMP maupun SMA.




Kejadian kedua, teman sekelas saya bernama Igom Prawira. Orangnya berperawakan kecil, wajahnya halus, bukan tipe cowok muka perang alias muka baik-baik. Saat itu kami menginjak bangku kelas 3 SMA dan pulang bareng lewat Pasar Ciplak. Di sana ada beberapa anak-anak STM yang sedang nongkrong. Kami bersama Igom saat itu berempat. Yang nongkrong pun berempat. Namun karena kami culun-culun, mereka pun mencoba macam-macam dengan kami. Saya dipalak, tapi lolos, karena saya termasuk orang-orang yang berstrategi pura-pura kere. Sedangkan tiga lainnya, jadi korban. Entah bagaimana nasib duit kawan-kawan saya yang dua itu -seingat saya Oppie Purnama dan satu lagi saya lupa.

Tapi Igom, saat itu kedapatan memiliki beberapa recehan di kantongnya. Si preman STM meminta paksa, namun Igom tak memberikannya dengan alasan uang itu adalah modalnya untuk kembali pulang ke rumah naik angkot. Mereka pun memaksa dan menyarankan agar kami BM saja (bonceng mobil). Igom menolak keras. Dan tiba-tiba kepalanya ditoyor oleh salah seorang diantara mereka. Igom yang kalem itu pun naik pitam dan menatap tajam wajah si penoyor. Bukannya waspada, si anak STM tengil itu malah ingin melakukannya lagi. Saat mendekat ke Igom, keluar dari mulut Igom dua atau tiga frasa berbahasa Arab dan tangan Igom mendorong bagian perut si penoyor.

Seperti bola yang ditendang, si penoyor itu terpental sejauh sekitar 4 meter dan setelah itu dia menggelepar seperti ikan kehabisan air. Tak lama menggelepar, hanya sekitar 10 detik, si penoyor kepala Igom itu tersadar dan menatap Igom dengan wajah yang ketakutan. Dia pun lari dan kemudian diikuti teman-temannya yang tunggang langgang.

Kejadian ketiga, dari teman saya seangkatan juga, Dian Respati. Saat itu Dian membawa mobil. Saya lupa entah mobilnya atau mobil teman kami yang dia bawa. Kami dari arah Pinang Ranti, ingin berbelok ke arah Pasar Kramat Jati, Cililitan. Saya ikut mobilnya karena diajak. Entah siapa yang ngajak saya lupa karena mobil Kijang itu berisi 11 orang: di depan tiga termasuk Dian sebagai sopir (karena sebab inilah polisi menilang kami), tengah 4 dan belakang juga 4. Polisi pun memberhentikan kami di perempatan lampu merah Cililitan. Kami ditilang karena mungkin jumlah penumpang yang tidak layak.

Kami semua belum genap 17 tahun saat itu. Sebagian mungkin (yang lahir sebelum 1978) sudah. Sehingga akan menjadi target empuk penilangan polisi karena belum ada SIM A. Namun kejadian keren saat itu adalah ketika polisi menyapa Dian dan menanyakan SIM dan STNK, Dian mengibaskan tangannya di hadapan muka polisi itu dan si polisi pun malah menyuruh kami berjalan begitu saja. Hanya dengan mengipas angin di depan muka polisi itu!

Tiga cerita ini baru soal keilmuan teman-temanku dalam menangani sesama lelaki. Ada lagi yang dalam hal menangani perempuan. Tapi tidak saya temui di SMA, saya menemukannya saat kuliah. Nanti deh saya bikin lagi tulisannya di lain waktu senggang. Thanks sudah mampir membaca blog ini..

Baca juga : Fakta Empuk Anak Kuliahan Era 90s