Negara Indonesia yang memiliki banyak jenis hidangan, juga memiliki keunikan sifat pemilih hidangannya. Setiap orang di Indonesia -dalam hal ini konsumen, mempunyai pertimbangan tersendiri dalam memilih hidangan kesukaannya. Ada-ada saja pertimbangannya. Ada yang dilatarbelakangi oleh kesukuan, seperti mereka yang berasal dari Sumatra. Kebanyakan orang Sumatra, dalam sepekan di kehidupannya, tidak bisa meninggalkan makanan pedas bersantan. Begitu pula yang dari Jawa, selalu ada teh manis di menu hidangan hariannya.


Begitu pula ketika kita melihat minat orang-orang di Indonesia dalam memilih camilan. Ada yang mempertimbangkan rasa, mendahulukan komposisi bahan baku, bahkan hingga ke pertimbangan sejarah. Seperti yang dipertimbangkan oleh para pecinta Pempek Palembang di seluruh Nusantara. Walaupun rata-rata pertimbangan mereka adalah keunikan rasa, dimana rasa pedas, manis, dan cita rasa perikanan menjadi satu dalam satu hidangan. Tapi ternyata, penyuka Pempek Palembang ini juga banyak yang memilih karena pertimbangan sejarah.




Menurut cerita di kalangan masyarakat Palembang, Sumatra Selatan, bentuk pempek dulu berbentuk pipih dan bulat seperti bentuk pizza. Ditemukan pada sekitar abad ke-7 Masehi, ketika Kerajaan Sriwijaya berkuasa di Nusantara, pempek dibikin dengan menggunakan tepung sagu sebagai bahan utama. Menurut tulisan pada Prasasti Talang Tuo yang dibuat pada era Sriwijaya tersebut, diungkap bahwa penduduk Sumatera Selatan telah membuat makanan dimana tanaman sagu sebagai bahan dasarnya.


Bersama sagu, penduduk juga mencampurkan parutan daging Ikan Belida (Chitala spp.) sebagai penyedap cita rasa Pempek Palembang. Ketika itu semua jenis ikan belida masih sangat banyak didapat di sungai-sungai, terutama kawasan Sungai Musi. Ikan belida, kala itu belum menjadi ikan yang dilindungi seperti sekarang, dimana beberapa spesies sudah langka bahkan ada yang sudah punah. Kini, daging ikan pempek telah diganti dengan ikan tenggiri (Scomberomorus commerson). Dan cara memipihkan Pempek Palembang juga dilakukan dengan membanting-banting adonan di atas batu atau kayu, sehingga terdengar bunyi "pek! pek!". Itulah sebabnya makanan ini akhirnya disebut sebagai "pempek".


Pempek pipih yang telah terbuat itu, kemudian harus direbus atau digoreng. Tak selesai sampai di situ, untuk melengkapi kenikmatan rasa, Pempek Palembang memiliki bumbu cair yang disebut "cuko" atau kuah hitam yang pedas. Inilah yang menjadikan Pempek Palembang menjadi hidangan khas Sumatera Selatan. Nilai sejarahnya terletak pada kebiasaan makan pempek pada jaman dahulu, dimana masyarakat hanya membuatnya sebagai makanan cadangan. 


Tidak mengerankan bila ada yang mengatakan, "Mereka bukanlah asli Palembang, bila belum sarapan pempek." Karena slogan tersebut, Raja Sriwijaya saat itu jadi penasaran. Dia pun mengutus orang suruhannya untuk belajar membuat pempek. Setelah berhasil mendapatkan ilmu membuat pempek, orang suruhan itu kemudian mempraktekkannya di kerajaan. Dan ternyata, raja sangat menyukai rasa pempek tersebut, sehingga di kemudian hari pempek menjadi hidangan kebanggaan di Sumatera Selatan, khususnya di Kota Palembang. Maka disebutlah hidangan itu menjadi Pempek Palembang.


Pempek, yang tadinya hanya menjadi hidangan yang tidak diperjualbelikan oleh masyarakat atau hanya sebagai makanan rakyat, akhirnya menjadi makanan bergengsi dan khas. Terbukti hingga hari ini, harga satu porsi Pempek Palembang yang asli, selalu dijual di atas rata-rata harga makanan khas lainnya di Indonesia, seperti seporsi bakso, nasi goreng, sate, pecel, dan rujak. Kini, Pempek Palembang menjadi salah satu hidangan atau kuliner Indonesia yang legendaris.