Kematian sia-sia akibat pembunuhan semakin meningkat. Tidak jarang orang-orang melakukan pembunuhan hanya karena hal sepele. Dimanapun, kapanpun, tanpa mengenal jenis kelamin bahkan usia, kabar nyawa melayangnya manusia kini mudah dijumpai. 

Seiring hal itu, langkah masyarakat menempuh hidup pun kian sempit. Padahal masyarakat saat ini sudah dihantui himpitan ekonomi, akibat kenaikan harga. 



Foto: alm. Prof. Rudi Satrio - Istimewa
Apa yang menyebabkan orang-orang begitu pintas berpikir, hingga dengan mudah melakukan perbuatan pidana berat? Dan adakah solusi untuk menghindari, atau setidaknya mempersempit pembunuhan? Berikut wawancara saya dengan pakar pidana dari Universitas Indonesia, almarhum Rudi Satrio.

Tanya:

Bisa Anda sebutkan kisaran ancaman hukuman bagi pembunuh, yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) negara kita?
Jawab:
Ancaman hukuman pembunuhan yang menyangkut penjara adalah kurungan sehari (1 hari) hingga 20 tahun. Yang terberat adalah hukuman mati. Tapi hingga kini saya belum menemukan hukuman 1 hari bagi pelaku pembunuh. Karena memang tidak mungkin dilakukan, mengingat melibatkan tanggapan berbagai pihak, dan sebagainya.

Tanya:

Bisakah semua pembunuh dikenakan hukuman mati?
Jawab:
Hukuman mati berlaku bagi tindak pidana berat, seperti pembunuhan berencana. Untuk lebih jelasnya bisa Anda baca pasal 340 dan 338 KUHP. Di situ diatur tentang hukuman mati bagi tindakan pidana berat. Jadi tidak semua pembunuh bisa dihukum mati.

Tanya:

Tadi Bapak bilang pembunuh dikenakan kurungan satu hari saja? Lalu adakah pembunuh yang lolos dari hukuman, baik hukuman penjara maupun hukuman mati?
Jawab:
Ada. Pembunuh yang tidak dihukum adalah mereka yang terpaksa membunuh karena membela diri atau tentara yang berperang.

Tanya:

Pembunuh yang membela diri? Bisa dijabarkan?
Jawab:
Misalnya seseorang disatroni perampok bersenjata di rumahnya, lalu dia pandai beladiri dan berhasil melumpuhkan perampok dengan cara membunuhnya. Atau ada seorang yang melihat pemerkosa, sedang berupaya pemerkosa orang dekatnya; semisal adik perempuannya, istrinya, atau orang yang sangat berarti bagi hidupnya. Lalu dia beri pelajaran pemerkosa itu, namun pemerkosa itu ternyata tewas. 
Nah, pembunuh seperti itu dapat dibebaskan dari ancaman hukum pidana, karena latar belakang yang masuk akal. Tentunya melalui saksi-saksi serta alat bukti yang mendukung, dengan proses hukum yang ketat, agar pembebasan dari ancaman pidana ini tidak dijadikan pembenaran membunuh.

Tanya:

Tapi saat ini, orang begitu mudah membunuh. Apa yang menyebabkan ini terjadi?
Jawab:
Menurut saya, ada dua sebab selain karena himpitan ekonomi: 
Pertama, represif-nya aparat penegak hukum. Sering kita dengar penembakan oleh polisi saat mengejar pelaku pidana. Entah itu diskenario atau memang pelakunya yang berusaha kabur lalu ditembak, atau alasan apapun, menurut saya justru hal itu melahirkan masyarakat beringas. 
Atau pernah dengar soal petrus (penembak misterius, red) di era Soeharto? Bagi pembuat kebijakan saat itu, keberadaan petrus diharapkan menekan premanisme. Tapi sadarkah mereka bahwa itu justru menimbulkan ketidakadilan, serta mencontohkan sesuatu yang sangat buruk. 
Kedua, pemberitaan media massa tentang kekerasan, yang secara tidak langsung juga memberi andil lahirnya pembunuh-pembunuh baru.

Tanya:

Lantas apa yang dapat menekan pembunuhan di negara Indonesia ini?
Jawab:
Pembunuh seharusnya mendapat proses hukum yang membuatnya jera. Bukan di eksekusi tanpa proses hukum. Kalau berkaca pada hukum Islam, hukuman semua perbuatan yang dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, adalah hukuman mati. Pendek kata, pembunuh harus dibunuh. 
Memang Indonesia bukan Negara Islam, tapi setidaknya hakim harus pintar dalam memutuskan hukuman yang dapat membuat pelaku pembunuhan jera. Buat saya, pembunuh tidak boleh dihukum dibawah 10 tahun.

Baca juga "Negara sudah kehilangan iman!"