FAO telah mencanangkan program penyelamatan stock tuna dunia antara lain dengan upaya penyelamatan baby tuna yang telah didukung oleh lima anggota tuna Regional Fishery Management Organizations (RFMOs). Indonesia juga telah menyatakan sikapnya, yang mau tidak mau harus mendukung, karena telah menjadi anggota di dua RFMOs dan menjadi Contracting Non member di satu RFMOs. 

Ikan tuna adalah komoditi global yang sudah mengglobal sebelum dunia berbicara tentang globalisasi. Tuna, dengan sifatnya menjelajah, membuat UNCLOS menetapkan ikan ini sebagai ikan yang bermigrasi jauh (HMS). Dimana tanggung jawab pengelolaan dan konservasi menjadi tanggung jawab bersama melalui RFMO.


Yang menarik adalah Indonesia juga telah menyatakan sikapnya di RFMOs yang MAU TIDAK MAU harus mendukung. Kata “mau tidak mau” ini menunjukkan ada dua kubu di Indonesia, yakni ada yang mau dan ada yang tidak mau. Atau bisa juga diartikan mau karena terpaksa.


Adapun project FAO tersebut diberi nama Tuna ABNJ dan akan di-launch mungkin tahun ini (2013) dengan support dana dari GEF. Di Indonesia, akan dilaksanakan oleh KKP dan MenKLH. Dalam tahap program atau perencanaan Tuna ANBJ mungkin oke, tetapi pada saat implementasi mungkin akan terjadi penentangan, terutama para pelaku usaha purse seine. 

Grafik : FAO.org

Persoalan tertangkapnya baby tuna besar-besaran, kita tahu bahwa itu, terjadi pada kapal-kapal purse seine berukuran di atas 30 GT (SIPI-Pusat). Ada pula yang sengaja memperkecil ukuran kapal dibawah 30 GT untuk mendapatkan SIPI-Daerah padahal fisik kapalnya secara kasat mata tampak jelas berukuran jauh diatas 30 GT.

Persoalan pengoperasian purse seine group yang mengancam kelestarian sumber daya ikan Tuna ini bukan hanya terjadi di “RFMO Convention Area” saja, tetapi juga terjadi di dalam wilayah kedaulatan NKRI, yaitu di Laut Banda. Kehadiran purse seine group di Laut Banda ini pun baru muncul beberapa tahun terakhir, yang notabene bisa dilacak siapa pemainnya, dan siapa Dirjen yang meneken SIPI-nya.


Pemberian ijin purse seine group di Laut Banda adalah sangat tidak bernurani, karena Laut Banda adalah satu-satunya fishing ground sekaligus “spawning ground” (tempat bertelur) tuna dan cakalang yang berada dalam wilayah kedaulatan NKRI.


Sepanjang sejarah perikanan tuna-cakalang di Laut Banda, belum pernah ada SIPI-Pusat untuk purse seine, kecuali baru beberapa tahun belakangan ini. Hasil penelitian BRPT baik yang disampaikan melalui FKPPS 2012 (Padang) maupun Seminar Nasional Pengelolaan Perikanan 2012 (Manado), menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan stock tuna di Laut Banda dan pengoperasian purse seine dengan menggunakan rumpon di perairan tersebut sebagian besar menangkap baby tuna dan sangat tidak ramah lingkungan. 


Jadi, pernyataan sikap Indonesia yang sifatnya “mau tidak mau” harus mendukung, harus kita buang kata “tidak mau” nya. Bulatkan tekad dengan kata “harus mau” mendukung demi kelestarian sumber daya ikan. Kini genderang “BLUE ECONOMY” telah ditabuh, maka solusinya adalah harus MAU mendukung atau negara ini malu di mata internasional.