For my brother Adhi Garvilla and my wife Fitria Pusposari jangan pernah silau dengan jabatan bro, banyak permainan brengsek di sana..




Cerita ini adalah pendalaman dari cerita ini : Kisah Terakhir

Kisah ini pun baru kuketahui, setelah hampir 6 tahun aku jadi wartawan (2010). Semuanya terungkap lewat storytelling saja. As simple as that. Almarhum ayahku adalah seorang prajurit TNI AL yang masuk melalui jalur Akabri (studi Akademi Militer) pada tahun 1963. Sebenarnya dia lulus SMA tahun 1962 dan berkuliah dulu di ITB jurusan Teknik Mesin. Tapi karena bolak balik almarhum nenekku sering menyinggung soal biaya kuliah, akhirnya setahun kemudian ayahku mendengar ada rekrutmen ABRI dan coba-coba masuk lewat jalur Akabri, dan diterima.
Singkat cerita, lulus dari Akabri dan jadi Letda di Surabaya, ayahku dinas di laut melanglang buana kemana-mana sebagai perwira operasional mesin kapal perang. Di situ ayahku mendapatkan semacam insight, dari teman-temannya sesama perwira bahwa kalau ingin berkarir to the max di TNI maka sebaiknya sekolah lagi yang banyak. Dari situlah dia, entah bagaimanapun caranya, mencari cara agar dapat melanjutkan studinya yang terputus di ITB dulu. Ternyata tahun 1979 dia berhasil lanjut ke STTAL dan meraih gelar Insinyur berbekal berkas akademiknya 2 smester di ITB itu.
Waktu berjalan terus hingga dia berpangkat Kapten pada sekitar tahun 1982, TNI AL mencari Kepala Kamar Mesin (KKM) untuk KRI Hiu. Beruntung, karena yang dibutuhkan adalah para perwira yang memiliki gelar, walaupun banyak juga perwira berpengalaman meng-handle mesin kapal perang yang skill-nya mungkin di atas almarhum ayahku, tapi karena mereka kurang beruntung karena tidak punya gelar akademis, akhirnya ayahku yang terpilih jadi KKM.
Di situ ayahku mendapat insight lagi, bahwa ternyata kalau "bukan siapa-siapa" meski mereka adalah orang piawai, tak kunjung nasib berpihak. Kalah oleh yang pengalamannya sebatas cukup tapi memiliki ijazah. Waktu kembali berjalan dan inilah yang lebih mak jleb insight dari ayahku. Tahun 1988 Mabes TNI berencana mem-plot orang-orang terbaiknya untuk mengisi beberapa jabatan penting di pusat (Jakarta). Ayahku saat itu sedang dinas di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Maka mereka men-sortir lagi para perwira yang ikut Sesko. Ayahku masuk. Tahun 1989 Letkol. A.M. Hendropriyono masuk.
Ketika masuk Sesko, ayahku masih menjabat sebagai Kadis Pemeliharaan dan Perawatan Kapal Perang TNI AL di Tanjung Pinang. Singkat cerita, tahun 1989 ayahku yang berpangkat Letkol di plot sebagai Kepala Sub Direktorat entah apa aku lupa, yang kantornya di Pondok Dayung, Ancol, Jakarta Utara. Saat beberapa bulan ke depan kami akan pindah dari Tanjung Pinang ke Jakarta, tiba-tiba ada seorang Laksma (berpangkat bintang satu) dari Jakarta yang hendak berkunjung ke pelabuhan TNI AL Mentigi, di Tanjung Uban. Laksma tersebut pada intinya membebankan seluruh biaya kunjungan ke ayahku.
Kebetulan pula, karena dana cekak, akhirnya usulan pembebanan biaya tersebut diterima namun dengan syarat penundaan waktu kunjungan. Karena selain penginapan, akomodasi, tiket pulang pergi, bagi sang petinggi dan anak buahnya itu, ayahku juga harus menghitung kebutuhan 'penyambutan' di sana. Tapi keputusan itu mungkin dianggap negosiasi oleh sang Laksma dan tidak diterima. Laksma itu tetap ingin berkunjung dan bagaimana pun caranya ayahku harus menyiapkan kebutuhan yang diusulkan tersebut. Ayahku tetap pada posisi angkat tangan alias tak menyanggupi.
Singkat cerita, kunjungan tak pernah terjadi dan laporan Laksma ke atas mengenai keputusan ayahku itu diluncurkan. Tahun 1990 ayahku sudah di Jakarta dan menjadi Kasubdit entah apalah panjangnya. Tapi pangkatnya tetap Letkol, yang seharusnya jadi Kolonel. Ohya cerita ini saya dapat langsung dari seorang Laksamana TNI AL yang pernah menjabat menjadi pejabat negara. Laksamana ini tak lain adalah teman seangkatan ayahku. Kembali ke cerita Laksma vs ayahku tadi, ternyata benar bahwa penundaan pangkat terjadi pada ayahku karena masalah pembebanan biaya tadi.
Dan ayahku, juga mendapat lagi insight dari rekan-rekan lainnya bahwa "Loe udah mati kutu di Letkol kayaknya. Kecuali loe siapa-siapa di TNI." lantaran kejadian itu. Ayahku pun berpikiran, "Dari umur 44 jadi Letkol sampai pensiun nanti (umur 58 tahun) tetap Letkol? Ah mending minta dikaryakan atau minta sekolah." Dia pun memilih minta disekolahkan. Akhirnya keluar surat perintah bahwa pada Oktober 1991 ayahku harus berangkat ke London, Inggris, untuk sekolah Naval Engineering. Mungkin akan selama sekitar 3 tahun di sana.
Sebelum berangkat ke London, pada awal tahun 1991 ayahku pun mendapat kunjungan dari salah seorang pejabat di Jasa Marga yang menawarkan posisi cukup tinggi di sana. Tapi ayahku memilih untuk tetap di TNI AL dan berangkat ke London. Tapi menjelang meninggalnya (Agustus 1991) dia mendapat kabar, kalau tidak salah sekitar Mei 1991 bahwa ada Laksda naik ke jabatan strategis di Mabes TNI Cilangkap. Si Laksda ini rupanya adalah 'musuh' si Laksma yang 'menjegal' ayahku tersebut. Laksda ini mengetahui duduk perkara ayahku itu. Dia pun mengapresiasi ayahku.
Dia lalu meminta ayahku untuk mempelajari lebih spesifik tentang mekanisasi tertentu pada kapal perang (entah apa namanya) yang kemudian ilmu itu untuk bekal ayahku nanti untuk jabatan Aslog TNI AL. Jabatan Aslog ini, paling tidak, harus diisi oleh mereka yang berpangkat bintang satu ke atas. Di sinilah kemudian aku yang mendapat insight bahwa ternyata, memang kita harus 'menjadi siapa' dahulu, untuk meraih bintang. Tapi alhamdulillah qadarullah Allah menentukan lain. Ayahku wafat karena serangan jantung pada 1991. Ini mungkin menyelamatkannya dari kesewenangan lebih besar. Wallahu a'lam.