Manusia diciptakan oleh Tuhan Sang Maha Pencipta sebagai mahluk paling tinggi derajatnya di dunia lantaran satu hal saja, akal. Coba bandingkan dengan mahluk lainnya di seluruh jagat raya ini, cuma manusia yang terbukti mampu konsisten mengembangkan cara hidupnya lewat akal. Dengan akalnya, manusia bisa terus berkreasi, sehingga muncul manusia kreatif. 

Apalagi di era teknologi yang luar biasa tinggi saat ini, dimana kreativitas manusia seakan semakin bebas melintas batas tak terkecuali. Baik kreativitas positif maupun negatif. Dalam hal keuangan, khususnya bidang transaksi, salah satu kreasi mutakhir adalah transaksi non tunai. 

Ada beberapa latar belakang lahirnya transaksi non tunai. Tapi percaya atau tidak, salah satu alasannya, berangkat dari berkembangnya kreativitas kejahatan transaksi. Ya, lantaran kreativitas kejahatan. Kenapa begitu? 

Berdasarkan catatan kejahatan dari berbagai kasus pengadilan negeri, seperti diketahui, kejahatan transaksi yang paling mudah dipahami masyarakat adalah penggunaan uang palsu. Sejak mata uang tercipta, disitulah lahir kejahatan pemalsuan uang. Dulu para pemalsu uang membuat uang palsu dengan cara manual, yakni dengan menggambarnya. Mereka membuat sindikasi dengan orang-orang yang jago seni rupa, sehingga membuat uang palsu yang sedemikian rupa mirip dengan uang asli.

Yang menjadi sasaran mereka, tentunya uang-uang bernilai pecahan besar. Karena akan membuang waktu dan tenaga bila menciptakan uang palsu berpecahan kecil, yang paling hanya untuk menebus barang berharga murah, sekelas permen karet atau gula-gula.


Uang dicuci

Uang pecahan besar juga mudah 'dicuci' di masyarakat. Inilah kemudian yang menjadi cikal bakal kriminalitas pencucian uang. Diawali dari bagaimana cara agar uang pecahan besar palsu tersebut menjadi pecahan yang lebih kecil, namun uang asli. Cara mencuci uang paling klasik adalah membeli lima permen karet, tapi dibayar uang pecahan besar, agar dapat uang kembalian. 

Disitulah kemudian mereka 'bermain' transaksi uang pecahan besar palsu, untuk mendapat uang pecahan kecil asli sebanyak mungkin. Wajar bila jaman dulu, para pedagang yang enggan dituduh terlibat urusan pencucian uang, sering menolak pembeli yang membayar dengan uang besar. Semisal hanya membeli sebatang rokok, namun dibayar dengan uang pecahan besar. Itu adalah contoh paling klasik. 


Penulis dan mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Mirza Adityaswara


Kemudian, kejahatan transaksi yang lebih tinggi lagi adalah korupsi. Contoh sederhana adalah kegiatan pembayaran di kasir. Dari pagi sampai sore misalnya, di sebuah pusat grosir dengan transaksi perdagangan yang terjadi pada hari itu, tentu kasir harus melaporkan jumlah transaksi. Namun bagaimana bila jumlah uang hasil transaksi hari itu 'ditelikung' sehingga jumlahnya kurang dari hasil transaksi riilnya?

Biasanya, modus yang terjadi adalah supervisor kasir tersebut bisa diajak kongkalikong oleh para petugas kasir nakal. Sehingga si supervisor melaporkan ke manajemen di atasnya, dengan cara sedemikian rupa, seolah uang yang hilang itu sebagai biaya operasional atau biaya tak terduga, atau ya apapun lah itu, pokoknya hasil kreasi dusta. Misalnya saja dari 100 kasir yang ditangani supervisor, ada 35 kasir yang nakal dan si supervisor mendapat bagian dari masing-masing kasir nakal tersebut. 

Singkat kata, artinya ada kerugian di pusat grosir tersebut, yang disebabkan oleh kejahatan transaksi yang sistemik, yang tak lain adalah korupsi. Bisa kita prediksi, berapa kerugian keuangan negara lantaran kejahatan-kejahatan transaksi tersebut di seluruh wilayah Indonesia. 

Berangkat dari contoh kecil tersebut, terciptalah Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) yang dicanangkan Bank Indonesia (BI) pada Agustus 2014 lalu. Dengan memanfaatkan kemutakhiran teknologi, GNNT mengajak masyarakat agar terbiasa bertransaksi secara aman dan efisien, meminimalisir penggunaan uang tunai.

Dan kini sepertinya sudah di hampir semua sektor belanja (kecuali pasar basah non modern di kampung dan pasar kaget), pada menggunakan uang non tunai dari berbagai aplikasi online yang ada di smartphone. Jadi bagaimana? Sudah terbiasakah bertransaksi non tunai?