Tulisan ini mohon jangan dibaca dengan sudut pandang emosi, baper, dan segala bentuk cara berpikir tidak jernih. Namun ini hanya storytelling untuk memahami secara benar-benar mendasar. Mari kita budayakan membaca cerdas, cermat, tuntas. Selamat membaca.  


Apa jawaban yang tepat dari pemerintah, bagi mereka yang mengeluh tak punya duit? Cari duit atau cetak duit? Ya, tentu cari duit dong.” Caranya, dengan meningkatkan sumber daya rakyatnya, sehingga mereka mendongkrak pendapatan negara.

Mekanismenya, secara mudah begini: produksi sesuatu yang laku di jual, hingga ke pasar internasional. Misalnya produksi hasil sumber daya alam, hingga produksi hasil kreativitas.

Lalu bagaimana bila rakyat membalas jawab, “Ya pemerintah kenapa ngga cetak duit lagi aja yang banyak? Toh ujungnya duit, menghasilkan duit. Nah ini.. Ini.. Inilah yang harus waspada. Karena sembarangan cetak duit bisa menyebabkan sanering loh.

Apa itu sanering? Apakah nilai uang Rp 10.000 dibikin jadi Rp 10? Lalu apa bedanya sanering dengan redenominasi?

 

Mari kita bahas dulu redenominasi. Menjadikan nominal uang Rp 10.000 jadi Rp 10 tapi nilai barangnya ikut turun seperseribu, itu namanya redenominasi. Nanti kita bahas implikasinya. Sedangkan sanering adalah setelah nominal uang Rp 10.000 dibikin jadi Rp 10, nilai barang tidak ikut turun alias tetap.

Maka kalau negara memutuskan sanering, itu duit Rp 10 ribu di dompet -yang tadinya bisa untuk beli sepiring nasi ayam, tidak lagi bisa begitu. Karena untuk mendapatkan sepiring nasi ayam, Rp 10 ribu harus dikali 1.000. Itulah kejamnya sanering. Artinya setelah sanering, harga nasi ayam adalah 10.000.000 (10 juta) alias seharga sepeda motor.

Sedangkan redenominasi, harga sepiring nasi ayam yang tadinya Rp 10.000 sekarang jadi Rp 10, tetap sesuai nilai duit. Ya betul sekali bila ada yang berpendapat  bahwa redenominasi hanya menghilangkan nominal saja, tanpa menghilangkan nilai barang.




Sanering

Lalu bagaimana mekanisme sanering terjadi? Untuk mengetahui hal tersebut, kita harus lebih dulu paham tentang barter. Supaya lebih enak memahaminya, maka penjelasannya dibikin dalam bentuk kisah, yakni kisah Si Udin dan Kris di bawah ini. Tapi ingat, ini hanya kisah rekaan.

 

"Udin, gue punya sepatu bagus nih. Kita barter yuk? Gue mau tas loe tuh."

"Sepatu loe bagus sih Kris. Tapi, gue nggak mau tas gue dibarter apa sepatu."

"Wah, kenapa? Ngga suka nih ama sepatu gue?"

"Bukan ngga suka, ngga mau aja. Barter sama yang lain aja."

 

Alhasil mereka malah gontok-gontokan dan nyaris berkelahi. Hal tersebut kemudian diketahui Robi si penjual emas. Lalu Robi akhirnya mengambil kesempatan, karena dia melihat adanya probabilitas keuntungan yang besar di peristiwa gontok-gontokan itu. Dasar otak bisnis ya, bisa aja lihat keuntungan.

Robi pun meluncurkan siasat, mendekati Udin dan memuji tas bagus Udin dengan mengungkapkan, Pak Udin, meski saya sedang tak butuh tas, namun tas sebagus itu layak dibarter dengan dua keping emas. Lalu Kris membalas, “Saya sependapat dengan Pak Robi.

Selanjutnya, karena yang merespon malah Kris, bukan Udin, akhirnya Robi datang ke Kris. Dia menawarkan barter 2 keping emas untuk sepatu Kris, yang sebelumnya ditawarkan Udin. Awalnya Kris minta 3 keping, tapi Robi membuat spekulasi, "Kalo Pak Kris tak bersedia, maka Udin yang akan mengambil 2 keping emas saya."

Kris pun akhirnya menerima tawaran 2 keping tersebut. Lalu datanglah Kris ke Udin dengan 2 keping emasnya. Dengan Udin, akhirnya terjadilah kesepakatan barter antara tas dengan 2 keping emas. Maka Udin dapat 2 keping emas, Kris dapat tas, dan Robi dapat sepatu. Cukup fair kah?

Dari cerita itu, Robi sukses menghadirkan perniagaan antara Udin dan Kris. Dia kemudian melakukan hal yang sama untuk perniagaan lainnya; menyatakan penilaian emas atas barang milik orang. Lalu menawarkan barang yang dia miliki ke publik, untuk mencari kepingan emas lainnya. Dan terjadilah pasar perniagaan di wilayahnya. Ya, Robi menjual kembali barang yang dia dapat dengan harga tertentu.


Taktik dagang

Puaskah Robi? Ya, mana mungkin puas. Dengan semakin banyaknya volume perdagangan yang diciptakan, dia pun merasa harus menciptakan lagi suatu cara yang membuat perniagaan menjadi semakin kompetitif. Robi kemudian menghadirkan Jampret, seorang yang jago mencopet.

Jampret pun diperintahkan Robi untuk sebisa mungkin mencuri keping emas para peserta perniagaan, dengan segala taktik dan modus operandi. Pokoknya harus berhasil membuat kondisi keamanan menjadi semrawut. Alhasil para peserta perniagaan merasakan tidak aman dan ketidaknyamanan.

Mereka merasa perlu sebuah tempat penyimpanan yang paling aman, untuk mengamankan kepingan emas mereka. Akhirnya Robi menciptakan jasa layanan penyimpanan keping emas atau yang dinamakan bank emas. Disini kita melihat hal-hal baru, yakni investigasi dagang dan spekulasi.

Datanglah orang-orang seperti Udin, Kris, dan lainnya, membawa kepingan emasnya ke Robi, yang telah membangun sebuah gedung besar yang dijaga algojo gagah perkasa. Setiap 10 keping emas yang disimpan di bank milik Robi, dia kenakan potongan 1 keping sebagai biaya keamanan penjagaan emas.

Udin yang memiliki 50 keping emas, akhirnya hanya bisa menyimpan 45 keping emas di bank Robi. Kris dengan 40 keping emasnya, hanya bisa menyimpan 36 keping. Sebagai bukti penyimpanan, Robi menciptakan lagi yang namanya lembaran resi bukti penyimpanan.

Maka Udin mendapat resi yang menyatakan dia memiliki 45 keping uang di bank, serta Kris dengan resi yang menerangkan dia pemilik 36 keping emas di bank itu. Dengan hadirnya resi, maka berakhirlah era barter.


Bank

Dari Udin dan Kris, si Robi berhasil mengumpulkan 9 keping emas yang akan dipakainya untuk mengamankan emas. Sedangkan peserta perniagaan di wilayah itu tak cuma Udin dan Kris, tapi orang sekampung.

Dari keuntungan itu, Robi menggunakannya untuk merekrut para penjaga emas dan juga meningkatkan produksi emasnya. Akhirnya terciptalah aktivitas menabung emas di bank Robi. Namun di luar itu, Robi juga merekrut orang semacam Jampret yang lain. Tapi tugasnya bukan untuk mencuri keping emas, melainkan untuk mencuri kesempatan.

Merekalah para yang dijuluki spekulan kotor, yang dibayar untuk menggiring isu antara kekhawatiran dan harapan.  Robi pun kembali menciptakan sistem. Dia menyatakan kepada para peserta perniagaannya, bahwa resi tersebut bisa juga dipakai untuk perniagaan.

Disitulah akhirnya tercipta sistem uang yang pertama kalinya. Dan dengan bantuan para ‘Jampret baru tersebut, Robi berhasil membentuk gejolak pasar. Jampret yang satu membisikkan ke Udin bahwa Kris sedang memiliki banyak keping emas di bank, lalu Jampret kedua membisikkan ke Kris bahwa dagangan Udin sedang laris manis.

Kris terpancing isu dan akhirnya merasa ingin menimbun barang Udin, dengan membeli secara besar-besaran. Udin pun ikut terpancing dan melakukan produksi besar-besaran dan menaikkan harga. Terjadilah situasi dimana transaksi menjadi ugal-ugalan.

Di situasi ini, resi (yang menyatakan nilai emas) mulai menjadi alat tukar perniagaan. Dari sebelumnya adalah kepingan emas beneran alias bukan resi. Robi pun menawarkan kepada para peserta perniagaan; sebuah komitmen: “Anda butuh resi? Kami bisa berikan. Harganya adalah 12 keping emas dan bisa dibayar akhir bulan!” Padahal, untuk setiap lembar resi, nilai riil-nya adalah 10 keping emas.

Mulailah Robi mencetak kertas-kertas resi tanpa jaminan keping emas, untuk memenuhi kebutuhan calon konsumen yang termakan isu spekulan. Dan sejak itu, resi tersebut berubah nama menjadi uang. Terjadilah sistem bunga, dimana selembar resi bernilai riil 12 keping emas (dari nilai riil 10 keping emas).

Namun karena banyak kebutuhan uang di masyarakat, maka sistem Robi terus berjalan.  Tak peduli cadangan emas di bank ada atau tidak, pokoknya uang harus tetap cetak. Karena perniagaan harus tetap berjalan, dengan uang sebagai alat tukarnya.

Inilah yang mengerikan, dimana kita hanya butuh lembaran uang untuk membeli barang yang harganya terus naik, sementara makna nilai uang tersebut dipertanyakan. Uang dicetak makin banyak, dan sesuai hukum ekonomi, harga barang akan naik bila uang mudah didapat.

Suatu ketika, orang-orang menginginkan uangnya dicarikan dalam bentuk emas. Robi pun kewalahan. Dan melapetaka, ternyata Robi tak mampu memproduksi emas sesuai dengan jumlah yang dia cetak sesuai resi yang telah terlanjur jadi uang tersebut.

Masyarakat pun kecewa massal karena nilai uang yang mereka miliki ternyata tak lebih dari sekedar kertas. Robi pun menciptakan chaos di tengah masyarakat akibat kebijakannya; cetak duit saja yang banyak.



Nah itulah pembaca, itulah kejamnya sanering. Jadi kesimpulannya adalah sanering dapat terjadi bila otoritas sembarangan mencetak uang tanpa perhitungan atas jaminan uang yang dicetak itu sendiri. Dan ini pernah terjadi di Indonesia pada era Presiden Soekarno, dimana uang beredar di masyarakat berlebihan.

Masyarakat jadi merasa mampu membayar semuanya dan terjadilah kelangkaan barang, sehingga harga barang melejit setinggi mungkin (hyperinflasi). Untuk memotong daya beli masyarakat, akhirnya dibuatlah kebijakan sanering.  Akankah terjadi seperti itu lagi? Semoga tidak.