Beberapa pekan ke belakang, pembahasan di media sosial banyak dipenuhi oleh kekuatiran banyak orang atas AI (artifical intelligence). Kekuatiran tersebut lantaran AI semakin gencar merampok pekerjaan manusia. Mereka tanpa ampun merangsek ke dunia karir dan melengserkan kemampuan manusia dalam melakukan pekerjaan, dan bukan hanya secara individu maupun kelompok, tapi sudah sampai ke ranah massal dan tak kenal lelah.

Tengok pekerja di layanan jalan tol. Dulu, mereka yang jadi kasir di setiap pos gerbang tol -yang jumlahnya bisa sampai 12 pos di setiap gerbang sehingga setiap hari ada 3 manusia yang bekerja secara shift di setiap gerbang (12 x 3 orang), kini mereka dipensiunkan. Seorang kenalan yang bekerja sebagai kasir gerbang tol mengaku beruntung, karena lolos dari penghentian kontrak kerja. Sebab dia lolos untuk terus lanjut bekerja di bagian lain. Sedangkan yang tidak layak berlanjut, terpaksa harus putus kontrak kerja.

Begitu pula dengan yang di bagian distribusi uang, petugas penghitungan uang, semua digantikan oleh AI dalam satu paket 24 jam non stop di gerbang tol yang kita kenal sebagai Gardu Otomatis Non-Tunai. Kemudian di sektor lain, kita telah lama mendengar kisah nasib pekerja pemotong kain dan pemetik sayuran-buah di kebun. Mereka terlibas oleh keunggulan mesin pemotong kain dan alat panen. Dan rupanya, tak hanya pekerjaan teknis yang bisa digarap AI saat ini. Penulis pun bahkan ikut terlibas. 

Bila AI akan melahap banyak pekerjaan manusia di berbagai sisi, kemudian apa yang harus dilakukan manusia jaman sekarang? Kembali ke mantan petugas gerbang tol tadi, yang mengaku beruntung lantaran masih bisa dipakai oleh perusahaan layanan jalan tol, ternyata ada hal yang membuatnya masih dianggap unggul. Mantan kasir gardu tol itu mengaku saat ini ditempatkan di bagian operator contact center, yang menurutnya masih 'agak' jauh dari ketergantian oleh AI. Tugasnya kini menanggapi keluhan pelanggan jasa layanan tol.

Ilustrasi milik MISTI Massachusetts Institute of Technology 


Lalu bagi mereka yang dulunya tukang petik pascapanen serta tukang potong kain, banyak yang juga beruntung menjadi pemantau kualitas alias quality control di perusahaan tempat mereka bekerja. Sedangkan yang lainnya, yang tidak dianggap mampu untuk terus bergabung bersama perusahaan, terpaksa drop job alias menganggur dulu untuk cari kerja yang lain. Begitu pun dengan penulis yang tergantikan oleh AI, mereka juga banyak yang menganggur.

Lantas bagaimana cara menyiasati kompetisi dengan AI tersebut? Dapat kita lihat bersama bahwa baik petugas gardu tol hingga tukang petik buah dan pemotong kain, kesemuanya pada akhirnya 'disortor' lagi dari sisi kemanusiaannya. Apa maksudnya? Mereka semua rupanya dimanfaatkan kemampuannya dalam hal menangani tugas yang untuk saat ini (setidaknya sebelum teknologi semakin berkembang lagi) masih harus ditangani manusia. Karena pekerjaan itu masih memerlukan tolok ukur kemanusiaan.

Kemudian, dapat dilihat juga bahwa mereka yang berhasil lolos saringan pemilihan sumber daya manusia adalah yang telah memiliki nilai tersendiri dari pengalaman yang ada. Maka bila kita sering memerhatikan, ada orang-orang yang meskipun keseharian mereka hanya di pekerjaan teknis, namun beberapa di antaranya mau meng-upgrade diri. Mereka tak hanya ingin piawai di rutinitasnya, tapi juga ingin memiliki keahlian lain yang mendukung. 

Alhasil sambil mengerjakan pekerjaan hariannya, dia juga mengukur kemampuannya ke bidang lain yang berkaitan atau mendukung. Sehingga beberapa dari mereka ada yang bisa menjadi QC atau bertugas di bidang lain yang lebih tinggi levelnya.

Begitu pun penulis. Apalagi saat ini teknologi AI untuk content writing sudah berpadu dengan SEO dan SEM (perangkat search engine), sehingga hasil penulisan sepanjang apapun dalam waktu singkat, bisa diladeni. Misalnya penggunaan 5W + 1H yang diolah lagi dengan matriks, sehingga setiap unsur 5W + 1H bisa saling dimainkan. Contohnya penelusuran What terhadap What, lalu What terhadap Why, kemudian What terhadap Who, dan seterusnya sehingga jadilah sebuah tulisan stright journalism yang mampu berkompetisi secara SEO dan SEM.

Untuk sebagian perusahaan dan segmen pembaca tertentu yang memerlukan informasi singkat, tulisan tersebut banyak diminati. Namun jangan lupa, ada segmen lain yang memerlukan bacaan berkualitas tak hanya dari segi kelengkapan informasi. Ada segmen pembaca yang memerlukan sebuah jalan cerita yang memiliki cita rasa, memiliki unsur membangkitkan semangat, dan meningkatkan rasa cinta. Maka untuk keperluan itu AI tidak akan bisa menyajikan storytelling yang bersifat humanis. 

Di sinilah ceruk tersendiri bagi penulis, untuk bisa berkompetisi dengan AI. Namun sekali lagi, bukan sembarang penulis juga yang bisa menggali humanisme dan berkompetisi dengan AI di dunia kerja. Seperti halnya para pekerja teknis tadi, penjaga gardu, pemetik buah, dan pemotong kain, mereka harus memiliki keunikan dan kelebihan dari apa yang telah dikerjaan secara rutin. Kuncinya adalah semakin gencar teknologi untuk mengganti kemampuan manusia, maka manusia itu harus menjadi lebih sejati. Menjadi manusia humanis. Niscaya AI sehebat apapun takkan mampu menandinginya.