Oktober 2004 aku resmi mengundurkan diri dari pekerjaanku, wartawan foto surat kabar Radar Surabaya. Aku kembali dari Kota Pahlawan ke rumahku di Cimahi, Bandung. Sebulan kemudian aku diterima kerja di Fotopia, sebuah studio foto milik seorang pengusaha keturunan Tionghoa di daerah Pasteur, sebagai fotografer studio. Pengusaha yang baik, karena baru dua bulan bekerja, aku sudah kebagian bonus akhir tahun. Oke sudahlah, nggak penting.

Mari kita mundurkan lagi waktu dalam cerita ini, yakni dari Oktober 2004 ke 26 Desember 2004. Sepulang dari studio foto, aku lihat orang-orang di rumahku menatap televisi dengan wajah terpana dan berulang-ulang berdecak kagum. Tapi wajah kagum itu tak disertai senyuman, melainkan ekspresi kegetiran atas berita duka. Dan ternyata, baru saja terjadi tsunami di pagi hari itu.

Entah apa energi apa yang merasuki tubuhku, tiba-tiba setelah menonton kejadian itu, aku bertekad ingin menggunakan uang bonus akhir tahunku untuk berangkat ke provinsi Serambi Mekah. Esok harinya, aku berangkat ke Bandara Husein Sastranegara, mencari tiket pesawat ke Polonia. Rencana pun terwujud, aku berhasil mendapatkan tiket pada pekan kedua Januari 2005.  



Add caption
Aku pun meminta ijin kepada ibuku, sebagai perjalanan tugas dari kantor ke Aceh. Padahal kantor tak pernah menugaskanku memotret sejauh Aceh. Paling jauh ke Tangerang, memotret pernikahan. Singkat cerita aku pergi ke Aceh lewat Medan. Dengan berbekal beberapa potong pakaian untuk tiga hari, kamera SLR butut, beberapa rol film, ATM berisi semua tabungan, dan uang disaku dan celengan, demi menuju Taneuh Rencong. 

Tiket pesawat berlambang singa merah Jakarta-Medan sudah kubeli. Di Medan aku lelah. Aku pun tidur di masjid bandara sejenak, sebelum melanjutkan ke Terminal Amplas. Aku melanjutkan perjalanan via darat, yakni naik bis malam ke Banda Aceh. Saat itu aku yakin Aceh aman dalam beberapa bulan ke depan. Pertimbanganku, karena selain dalam masa berkabung massal, disana toh sedang banyak sekali petugas medis dan relawan. Jadi menurutku aman dari aksi GAM, yang kemungkinan akan terhambat sementara oleh peristiwa itu. Rasa optimis itu akhirnya membawaku terlelap di nyamannya bus AC Medan-Banda Aceh. 

Bertemu GAM

Namun perkiraanku sedikit salah. Sekitar pukul 22.30 WIB, aku terbangun karena bus tiba-tiba berhenti. Tak lama kemudian masuklah empat orang berwajah datar dengan tatapan mata tajam, mereka menenteng senjata mesin berlaras pendek. Mungkin senjata mereka jenis M-16 atau sekelasnya. Dari keempat orang itu, tampak ada yang masih berusia muda dan ada pula yang sudah tua lantaran kelihatan beruban. 

Aku jadi agak deg-degan karena para penumpang bus panik dan terdengar dengan sayup suara mereka berucap macam-macam. Ada yang bershalawat, ada yang istighfar, dan sebagainya. Mereka tahu bahwa yang masuk itu adalah anggota GAM. 

"Tenang bapak-bapak, ibu-ibu, kita ini bukan orang jahat, yang penting jangan ada yang SMS atau telpon polisi ya. Kutembak kepala kalian disini kalau berani kalian begitu ya.." ucapan itu keluar dengan nada tenang namun terasa seperti ledakan petir di siang bolong.

Dari empat orang itu, dua dari mereka menuju ke arah tempatku duduk. Entah apa yang akan mereka minta. Kebetulan posisi dudukku di kursi bis paling depan, di belakang pak sopir. Yang satu memintaku pindah. Awalnya, jantungku terasa meledak-ledak saat mereka mendekati, karena selain wajahnya garang tanpa tersimpul senyum sedikitpun, juga karena senjata berat yang dia tenteng. Kakiku seperti lemah lunglai. Aku sempat berpikir, jangan-jangan mereka menginginkan sandera, dan salah-salah nyawaku bisa melayang. Tapi ketegangan mereda karena ternyata mereka cuma 'mengusir' saja. Sedangkan GAM yang satu lagi, meminta penumpang yang duduk di sebelahku, untuk pindah juga. Jadi kursi tempatku duduk bersama orang sebelahku, mereka ambil alih.

Dan yang lebih bikin aku sangat deg-degan saat mereka masuk ke dalam bis adalah, beberapa dari mereka jarinya berada di area pelatuk. Bisa dibayangkan bila mereka tiba-tiba menarik pelatuk? Ya tentu konyol bila mereka berbuat itu tanpa alasan. Tapi bagaimana bila bus menghantam jalanan rusak dan mengguncang lengan mereka, lalu tanpa sengaja pelatuk itu tertekan jari mereka? Sementara laras senjata mengarah ke sembarang penumpang? Dor! Penumpang pun tewas lantaran tak sengaja tertembak oleh senjata yang tertarik pelatuknya. Dan bisa saja penumpang itu adalah...Ah sudahlah jangan dibayangkan. 

Singkat cerita aku dan penumpang sebelahku diminta pindah duduk di tempat lain, yang bisa diduduki. Atau kalau kami tidak mau pindah duduk, mereka suruh kami turun saja. Awalnya aku berpikir untuk turun saja, namun bisa jadi di luar sana aku malah menjadi 'santapan' malam kawasan perbatasan. Akhirnya, aku pindah duduk di tangga dekat pintu keluar bagian depan. Sedangkan penumpang sebelahku yang juga 'diusir' para GAM, ke bagian belakang.

Dua pria bersenjata yang mengusir kami tadi, akhirnya duduk di bangku yang aku duduki bersama penumpang sebelahku. Jadinya, mereka duduk di belakang sopir. Mereka tampak seperti memerintahkan sopir untuk ini-itu, dengan menggunakan bahasa Aceh. Lalu dua orang sisanya pun sama, meminta 'setengah baik-baik' para penumpang lelaki lainnya untuk pindah dari tempat duduk. 

Rupanya, keempat anggota GAM itu hanya ingin menumpang bus hingga ke Langsa. Kejadian tenang namun tegang itu hanya berlangsung tak lebih dari 1 jam. Mereka akhirnya turun, karena mungkin sudah sampai di Langsa. Maklum selain gelap, aku juga sama sekali tak kenal daerah disana. Fyuhh.. Akhirnya aku bisa kembali menduduki kursiku.

Setelah duduk, orang di sebelah tempat dudukku yang tadi sama-sama kena 'usir' mencoba menenangkanku. Dia mengatakan bahwa sebaiknya aku tak perlu khawatir. "Orang-orang Aceh itu baik. Mereka tak akan jahat bila kita tak jahat, saya sudah sering seperti itu," ujarnya. "Lagipula kau bukan orang Jawa kan?"
Dahiku mengerenyit mendengarkan pertanyaannya. Aku bertanya balik kepadanya, "Saya orang Sunda, tapi saya juga orang Padang karena ayah saya Minang asli. Yang jelas bukan Jawa. Tapi kalau pun saya Jawa kenapa rupanya Pak?"

Menurutnya, pernah dia mengalami kejadian serupa, yakni bus yang ditumpanginya dicegat oleh para anggota GAM. Agak persis seperti itu kejadiannya. Saat itu, mereka ingin meminta sumbangan paksa para penumpang bus eksekutif. Dan setidaknya, sekitar Rp 20 ribu hingga - 50 ribu terpaksa harus dikeluarkan, atau urusan bisa panjang, bahkan bisa jadi urusan nyawa! "Nah, saat itu ada orang yang memberi uang sambil berkata dengan logat Jawa kental. Saat GAM turun, orang Jawa itu akhirnya dibawa serta. Kau belum tahu ya? GAM sangat membenci orang Jawa. Untung kau Sunda, orang Aceh sangat suka orang Sunda kawan," ungkap si bapak. "Lalu diapakan si Jawa itu?" tanyaku. "Entahlah, mungkin dikerjain, mungkin pula...." katanya.

Bus pun tiba di Banda Aceh sekitar waktu Ashar, dan memang ramai sekali kota ini. Yang paling terasa adalah bau bangkai masih menyeruak cukup tajam. Mungkin sudah bercampur dengan bau binatang yang terseret ombak. Karena bau jenazah manusia tidak seperti itu. Selama perjalananku menuju Masjid Baiturrahman, tampak banyak tenda-tenda darurat milik LSM, relawan, dan lembaga kemanusiaan lainnya... 


Cerita ini adalah kenangan tak terlupakan. Karena sepulang dari Aceh, aku dipanggil oleh Media Indonesia.

Serangkaian tes Media Indonesia aku jalani sejak mendapat panggilan wawancara di awal Februari. Tes demi tes aku ikuti, hingga akhirnya pada pekan ketiga Februari aku dinyatakan lolos, dan mereka memintaku mulai bekerja pada 1 Maret 2005.

Aku pun ditugasi lagi ke Aceh, namun bukan dalam rangka meliput korban tsunami, tapi kisah Perang TNI-GAM.

Cerita selanjutnya dapat dibaca di harian Media Indonesia, sepanjang edisi Maret 2005. Ada inisialku di situ, yakni CR-51 alias masih calon reporter.

Penulis