Aww! Luar biasa! Apa yang tampak dari ruangan itu adalah pemandangan luar biasa. Karena memang di luar jangkauan pemandangan sehari-hari. 

Tampak tubuh-tubuh molek, mulus, dengan rambut panjang nan tebal dan hitam mengkilat, wajah manis yang masih tanpa make up, serta -mohon maaf kepada pembaca, bahkan ada satu orang di pojok ruangan dan satu lagi baru keluar dari kamar mandi, bertelanjang dada. 

Yang dipojok ruangan hanya mengenakan celana pendek, serasa tarzan saja. Mereka membiarkan payudaranya bergandulan seperti diumbar. 

Yang baru keluar dari kamar mandi, hanya menutupkan handuknya hingga sebatas pusarnya, dan berjalan topless menuju kamarnya. Ketika bertemu pandang dia tak berasa malu, malah melemparkan senyum manisnya. 

Bagi pria normal dan awam, bisa jadi pemandangan seperti itu akan membuat mereka tegang pada sekitar resleting celananya. Mereka juga sudah tahu ada yang asing di situ. Asing dalam artian seseorang yang bukan 'kaum' mereka, hadir di antaranya. Sementara satu lagi, yang topless di pojok ruangan, mengambil tank top dan memakainya sehingga tak lagi tampak vulgar.




Hari itu adalah Senin pagi pukul 09.30, di suatu pertengahan pekan pada November 2007. Cerita semacam ini mungkin sudah pernah diungkap di beberapa media massa. Dan kali ini, sudut pandang cerita ini sebenarnya adalah pengalaman tugas jurnalisme saya waktu masih bekerja di harian Media Indonesia.

Adalah redaktur saya mas Jaka Budi Santosa yang menugaskan saya untuk liputan ke daerah Taman Lawang ini. Jadi pada 2007 lalu, Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta memutuskan untuk mengakhiri aktivitas malam di Taman Lawang. Aktivitas malam yang dimaksud adalah pelacuran homoseks (istilah umumnya: bencong TL). 

Tapi rupanya liputan tersebut tidak jadi dimuat karena beberapa alasan para dewan redaksi. Well, ya sudah. Tapi saya akan menceritakannya dari sisi yang tidak terlalu berbenturan dengan kepentingan (barangkali ada).  

Nah, kembali ke suasana yang luar biasa tadi, ada 5 orang waria di pagi itu, di kompleks kost kecil di kawasan Jalan Blora, Jakarta Pusat. Untuk bisa mencapai kost tersebut, tak semua orang bisa.

Butuh penghubung (liaison) dan juga butuh sedikit interogasi dari pihak pengelola kost. Dan mungkin juga butuh 'pelicin' untuk bisa membuat aktivitas mereka menjadi sebuah cerita. Entahlah, karena cerita ini diambil dari penuturan seorang jurnalis yang ditugaskan atasannya. Jurnalis tersebut hanya tinggal menjalankan tugasnya saja, mengorek cerita, karena semua sudah diatur oleh pemberi tugas.

Kompleks kost tersebut berada di dalam sebuah salon, yang bila denahnya dilihat dari bird view, maka akan tampak seperti botol. Tampak depan hanya sebuah salon dengan paviliun kecil di sampingnya sebagai lorong jalan masuk menuju ke area kost. Jurnalis tersebut diantar oleh sopir taksi yang tak lain adalah liaison antara pengelola salon (dan kost) dengan si wartawan. Bersama sopir taksi, dia masuk ke dalam area kost. Tiba-tiba, "Hei, Bo'! Eh geblek, kok si (sebut saja Parno) Parno ikut masuk sih," kata salah satu waria yang telanjang dada di pojok ruangan.




Mari bayangkan bersama denah ruangan besar tersebut. Luasnya sekitar 200 meter persegi, mungkin sekitar 10 x 20 meter. Ada tiga kamar kost di sisi lebar dan empat kamar di sisi panjang. Total penghuni kost, yang kesemuanya waria tersebut adalah 7 orang. Namun tampaknya dua orang yang lain enggan keluar kamar selama jurnalis tersebut melakukan wawancara. Sementara si Parno, sang sopir taksi, adalah sopir langganan para waria tersebut, bila suatu waktu para waria itu di 'booking' pelanggannya. Mereka kerap menelfon Parno untuk minta diantar ke tujuan klien yang mem-book mereka.


Sebut saja Marce, si waria yang bertelanjang dada di pojok ruangan tadi, mengusir si Parno keluar. 

"Lu keluar aja gih No. Ngapain sih ikutan."

"Ya gue kan harus jagain si mas ganteng ini. Ntar diapa-apain sama elo lagih.."

"Yeee, emang kita binan (sebutan sesama mereka, red) apaan?" 


Tiga waria lainnya, yang ada di ruang tamu kompleks kost itu, sedang duduk bersama menghadap meja televisi. Meski tidak berlaku vulgar seperti dua lainnya, namun memang pakaian yang mereka gunakan dengan bentuk tubuh mereka saat itu, sudah tidak lagi 'nyambung' dilihat. Pria normal yang awam, sekali lagi, pasti akan tergoda. Terang saja, karena tubuhnya sudah disulap menjadi bentuk tubuh perempuan. Namun memang dasarnya lelaki, mungkin itulah sebabnya mereka terbiasa bertelanjang dada seperti orang yang kegerahan sehabis main bola. Karakter lelaki di antara mereka masih cukup kental terlihat.



Misalnya saat menyapa si jurnalis, "Oi, coy, duduk sini. Santai aja udah lu ngga usah takut gue apa-apain dah." Juga ketika dari dalam salah satu kamar ada yang menyetel lagu dengan volume cukup mengganggu saat wawancara berlangsung. "Woi! Tai, kecilin dikit dong musik lu! Lagi ada tamu nih!" ujar salah seorang waria yang ada di luar kamar.

Begitulah aktivitas mereka di pagi hari. Setiap malamnya, para waria tersebut pulang sekitar pukul 3 dini hari dan mulai keluar beroperasi sekitar pukul 9.30. Apa yang mereka lakukan tentunya adalah aktivitas di seputar hubungan seksual yang menyimpang, yakni hubungan sesama jenis kelamin. Tarifnya pun berbeda nilai. Dari yang hanya oral hingga yang melakukan coitus interuptus. Untuk hal tersebut, sudah banyak artikel-artikel di media massa yang mengungkapnya.

Lalu bagaimana dengan higiene seksual mereka, untuk menghindari virus dan penyakit? Mereka mengaku telah menyisihkan uang pendapatannya kepada Sang Manajer, yang akan melakukan pemeriksaan kesehatan rutin. Siapa Sang Manajer tersebut? Mungkin juga sudah sering diulas oleh banyak artikel media massa. Namun yang pasti, prinsip mereka adalah tetap menjalankan aktivitas demi memenuhi permintaan pasar. "Banyak loh mas di luar sana yang butuh jasa kita..."